Kamis, 11 Agustus 2011

SPIRITUALITAS MAGNIFICAT

Deddy Dismas 

Ketika masih bertugas di kota Kediri, saya selalu menyempatkan diri untuk mengikuti perayaan Ekaristi setiap malam Jumat legi di Gua Maria Puhsarang. Tentu saja bersama ribuan peziarah.  Konon para peziarah  datang dari berbagai kota di Jawa. Bahkan saya pernah menjumpai peziarah dari Sulawesi, Sumatera dan Kalimantan. Sebelum Perayaan Ekaristi , diawali dengan mendaraskan doa rosario. Perayaan Ekaristi dimulai sekitar jam 24.00 WIB. Sebelum masuk liturgi Ekaristi, petugas membacakan sederet ujud-ujud yang dimohonkan oleh umat lewat perantaraan Bunda Maria.
Bunyi ujud-ujud itu antara lain , Mohon agar laris dalam berdagang.  Mohon agar toko yang baru dibuka agar bisa segera mendatangkan pelanggan. Mohon agar rumah cepat terjual. Mohon agar sengketa tanah selesai dengan lebih menguntungkan. Mohon agar segera naik pangkat sebagai PNS dari 4E ke 4D. Mohon  agar cepat dapat jodoh. Mohon agar dapat jodoh seiman. Mohon agar lulus masuk perguruan tinggi. Mohon agar kakek cepat sembuh. Mohon agar dapat keturunan. Mohon agar anak tidak nakal.
Begitu banyak permohonan. Bisa ratusan dan bisa ribuan. Bayangkan saja kalau ribuan peziarah mempunyai satu permohonan, maka akan ada ribuan permohonan. Permohonan itu menjadi Litani permohonan seakan tanpa henti. Lantaran kedengarannya begitu aneh dan konyolnya  permohonan itu, apalagi untuk dibacakan dalam pearyaan ekaristi yang seharusnya khidmat,  sebagian orang merasa kesal dan terkantuk-kantuk dan bahkan memancing tawa para peziarah.
Bagi saya, peristiwa itu seakan-akan mau menunjukkan betapa rapuhnya iman para peziarah jika permohonan-permohonan itu menjadi inti peziarahan mereka.  Praktik pembacaan litani ujud permohonan  sebenarnya memperlihatkan  sejauh mana kedalaman penghayatan hidup beragama, iman dan devosi kita. Hidup iman dan devosi kita masih sangat menyangkut kebutuhan yang cenderung material dan manusiawi semata. Kebutuhan itu memang kita perlukan. Tetapi  bila ‘hanya’ kebutuhan itu yang mendorong kita untuk berziarah, maka ziarah kita tanpa sadar telah mendangkalkan nilai dan hakikat hidup iman dan devosi kita.
Dengan berziarah ke gua Maria, hati dan budi kita seharusnya makin disadarkan untuk menghayati magnificat Maria. Ensiklik Redemtoris Mater (37) mengatakan bahwa magnificat, doa pujian Maria itulah yang membentuk dan menjadikan  Gereja. Dari awalnya, dalam perjalanannya di dunia, gereja membentuk dirinya berdasarkan magnificat itu. Gereja menerima kebenaran bahwa Allah setia pada janjinya dari Maria ketika ia menerima kabar gembira dan ketika ia mengunjungi Elisabeth, saudarinya,
Litani ujud permohonan memperlihatkan betapa serakahnya kita akan segala kebutuhan kita, dan memaksa Allah untuk memmenuhinya. Padahal magnificat Maria mengajarkan yang sebaliknya : “Miskin di hadapan Allah”. Spiritualitas ‘miskin di hadapan Allah’ berlawanan dengan nafsu mereka yang sombong, kaya dan berkuasa.  Maria percaya bahwa mereka yang kaya, berkuasa dan sombong akan diusir dengan tangan hampa, sebaliknya mereka yang miskin dan hina dina akan ditinggikan dan dimuliakan.
Litani permohonan juga memperlihatkan betapa  kita resah dan gelisah akan hidup dan kebutuhan kita. Lewat magnificat Maria mengajarkan agar kita tidak usah resah akan semuanya itu. Justru  karena kita mau miskin di hadapan Allah dan tidak serakah maka Allah akan melakukan perbuatan besar bagi kita.
Maria, melalui magnificat nya, mengajari kita untuk bersyukur. Dan sesungguhnya inti hidup beriman adalah bersyukur, bukan memohon atau meminta karena merasa khawatir. Betapa pandainnya kita meminta dan memoohon. Namun betapa sulitnya atau betapa kurangnya kita bersyukur. Padahal hanya dengan bersyukur, kita bisa mengalami betapa Allah sungguh tidak pernah menelantarkan kita. Syukur telah mencelikkan mata kita bahwa Allah telah menganugerahkan banyak hal yang kita butuhkan. Dan bila semuanya kita syukuri, akan datang lagi hal-hal lebih besar yang tidak kita bayangkan sebelumnya. Syukur, akan membantu kita untuk melihat hidup dan diri kita dengan lebih positif. Dengan syukur , segala jalan akan terbuka, dan hidup ini terasa penuh kelimpahan, lebih daripada yang kita duga. Syukur inilah yang memungkinkan Maria menerima Tuhan dalam kandungannya, dan kemudian melahirkannya guna pelaksanaan karya besar Allah di dunia ini.
Miskin di hdapan Allah, percaya  akan perbuatan besar Allah, dan bersyukur kepada Allah, itulah yang membuat Maria, gadis yang lemah menjadi kuat, optimis dan berani menjalani hidup bersama segala tantangannnya. Begitulah yang terjadi pada Maria. Rahmat yang diterimanya juga kita akan terima, lebih-lebih dalam berdevosi kepada Maria, entah itu ziarah, rosario, novena, asal kita berani menghayati magnificat, doa pujiannnya.
Semoga lewat Magnificat Maria, kita pun menjadi pribadi yang kuat, kokoh, tabah dan percaya diri. Tidak menjadi manusia yang resah akan segala kebutuhgan, tidak merengek-rengek dengan litani permohonan yang justru membuat kita lemah, tidak percaya diri dan kurang bersyukur.


Sabtu, 06 Agustus 2011

MENGAMPUNI: MENCECAH “RUSAKNYA” HATI



Oleh : Deddy Dismas

Disakiti atau dikecewakan oleh seseorang mungkin merupakan pengalaman keseharian kita.  Kita semua pasti pernah merasa disakiti atau dikecewakan oleh seseorang.  Misalnya pengalaman ditipu, dimaki di depan umum, ditampar tanpa sebab, dan sebagainya. Yang terjadi adalah perasaan kita menjadi kecewa, sakit hati dan berujung balas dendam.
Secara manusiawi, prinsip mata ganti mata, gigi ganti gigi adalah prinsip yang dikedepankan.  Agenda utama hidup orang yang tersakiti adalah dendam. Mencari cara untuk membalas dendam,  Secara perlahan kita akan masuk dalam penjara dendam.
Jika ini dibiarkan, perasaan negatif  tadi berpotensi merusak hati kita,  seperti tumor ganas yang akan menggerogoti diri kita.  Hati berarti pusat dan sumber hidup pribadi manusia, suatu titik konsentrasi pribadi, pusat hidup batin. Dari hati itulah timbul pengertian, perasaan, kesusilaan, keutamaan dan kehendak. Dalam hati itu terasakan kebaikan,keberanian, cinta kasih dan sebagainya.
Pelan namun pasti, dendam akan membuat kita  terperangkap dalam suatu lingkaran kebencian yang akan menyerap seluruh energi kita. Untuk keluar dari perangkap ini dibutuhkan pengampunan.  Mahatma Gandhi berkata : “ Mengampuni adalah pertanda kekuatan seseorang”. Bila kita mengampuni sebenarnya itu kita buat hanya untuk diri sendiri, bukan untuk siapa-siapa. Kata orang : “Pengampunan adalah dendam yang paling manis”.

 Forgiveness : The Power of Love

            Mengampuni, mudah untuk dikatakan tapi sangat susah untuk dipraktekkan. Tapi, dengan tidak mengampuni, kita menanam racun dalam diri kita. racun yang bisa merusak diri kita. Pengampunan bisa terjadi ketika manusia bisa masuk dan tinggal dalam kasih Allah.  Bagaimana pun kondisi kita, Allah tetap mencintai kita.  Cinta yang tanpa pamrih. Kekuatan cinta itu justru terletak dalam pengampunan yang tidak terbatas atas kesalahan orang lain.  The power of Love is forgiveness. Peter Breemen, SJ mengatakan bahwa cinta itu terbukti di dalam kesetiaan dan memuncak di dalam pengampunan.
            Ketika ditanya berapa kali harus mengampuni, Yesus menjawab tujuh puluh kali tujuh kali (Mat 18:22). Suatu pengampunan yang tanpa batas. Pengampunan yang juga membutuhkan konsistensi dan konsekwensi. Mereka yang bisa menjalankan ajaran Yesus ini,  mengasihi, mengampuni orang yang telah berbuat salah, sering dikelompokkan sebagi orang yang aneh bin ajaib, nyentrik.
            Tentu kita masih ingat peristiwa 13 Mei 1981, ketika di lapangan St. Petrus, Paus Yohanes Paulus II (1978-2005) dihujani beberapa timah panas oleh Mehmet Ali Agsa. Dalam perjalanan menuju meja operasi Paus mengampuni penembaknya. Sehingga tidak heran jika Rajmohan Gandhi berkomentar : “Paus memperlihatkan sikap manusia berjiwa ilahi”. To err is human, to forgive DIVINE. Khilaf  itu manusiawi, memaafkan adalah ilahi.
            Apa yang dilakukan oleh Paus Yohanes Paulus II merupakan tindakan seorang murid sejati.  Dalam kotbah di Bukit,  Yesus mengajak para pengikutNya berdoa bagi orang-orang yang menganiaya mereka (lih. Mat 5:44). Ajakan dan ajaran Yesus ini tentu saja bukan hanya sebuah konsep, tetapi juga konkrit dalam tindakan nyata. Ketika di palang penghinaan-salib-, Yesus berdoa bagi para algojo dan orang-orang yang telah menyiksaNya : ‘Bapa ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat’. Yesus pun masih mengampuni seorang penyamun yang disalibkan bersama Dia.
            Mengampuni ataupun berdoa memohon pengampunan memang tidak mudah. Namun, menyimpan dendam pun tidak ada untungnya, justru malah membuat diri teraniaya, terpuruk, tercabik-cabik, bahkan bisa menimbulkan luka-luka bathin, dan tentu saja berbagai penyakit fisik sudah menanti.
Pengalaman berbicara bahwa menebar dendam dan rasa benci merupakan actus manusia yang paling gampang daripada memberikan pengampunan dan rasa damai kepada orang lain yang bersalah pada kita. Bahkan membalas kejahatan dengan kejahatan dianggap sesuatu yang wajar, yang sah. Beberapa kultur menganggapnya sebagai suatu hak, sehingga jika tidak dilakukan orang merasa kehilangan harga dirinya, martabatnya?
Semakin gampang kita menyimpan dendam, merancang pembalasan dendam dan menyimpan amarah, semakin gampang pula hati kita menjadi rusak. Kalau sudah demikian seluruh pribadi  kita pun rusak. Kita akhirnya terperangkap dan terbelenggu, tidak dapat menikmati kebebasan sebagai orang bebas.
           

Mengampuni adalah menyembuhkan

            Bagaimana untuk menikmati kebebasan sebagai orang bebas ? Untuk dapat menikmati kembali kesembuhan yang membebaskan, untuk mengobati dan mencegah kerusakan hati , obatnya adalah forgiveness- pengampunan. Yesus memberikan perintah untuk mengampuni orang yang bersalah secara tidak terbatas.
            Rasa marah dan dendam, adalah ciri manusia yang hidup dalam daging, sedangkan pengampunan dan belas kasihan adalah ciri manusia rohani, atau meminjam istilah Rajmohan : manusia yang berjiwa ilahi. Pengampunan akan sangat menyembuhkan, tidak hanya diri sendiri tetapi juga penganiaya.
            Tidak ada yang lebih hebat menghambat kebahagiaan manusia daripada rasa benci, marah dan rasa bersalah. Tidak peduli apa yang dilakukan seseorang terhadap kita atau betapa salahnya mereka, bila kita tidak memaafkan mereka kita juga akan ikut serta menanggung akibatnya. Memaafkan orang lain tidak hanya membebaskan orang lain yang bersalah, tetapi juga membebaskan diri kita dari kelumpuhan. Inilah mukjizat pengampunan. Menyimpan rasa dendam dan amarah memboroskann tenaga yang dapat kita arahkan menuju sukacita. Pengampunan itu menyembuhkan, membuka hati kita, melepaskan emosi yang tersumbat di dalam tubuh, dan membiarkan daya hidup mengalir bebas melalui kita. Mark Victor dan Henry Ward menulis demikian :
Bila kita memutuskan untuk berdamai, Kita membuat jalur hati menuju cinta Tanpa syarat kepada sesama.
Cinta tanpa penghakiman itu merupakan  awal keselamatan bathin yang kita cari dan batu loncatan menuju surga.

Dipanggil untuk mencinta

            God is Love. Allah adalah Kasih. Karena begitu besar kasihNya akan manusia, Ia mengaruniakan anakNya yang tunggal kepada kita. Karena Allah adalah Cinta –seperti yang dikatakan pengarang injil Yohanes- maka manusia pun sebagai gambar dan rupa Allah pada hakekatnya adalah pribadi yang mencinta. Yesus memberikan perintah baru untuk saling mengasihi satu sama lain sebagaimana Yesus telah mengasihi kita masing-masing. Ini  berarti pekerjaan mencinta adalah mutlak dijalankan sebagai suatu panggilan. Bahkan sebagai perintah. Tentu  saja kalau manusia menjalankan perintah ini, sukacita Allah akan tinggal dalam diri kita.
            Alangkah indahnya pengalaman dicintai. Karena begitu indahnya setiap individu ingin mengalaminya selama mungkin. Sehingga sadar atau tidak sadar manusia bertumbuh dan bergerak menuju  pencarian makna cinta sejati. Manusia bergerak dan mengarah pada Allah sebagai sumber Cinta sejati.
Tidak heran jika Arnold Toynbee begitu yakin bahwa cinta merupakan satu-satunya kekuatan spiritual yang dapat menaklukkan egoisme yang melekat dalam setiap individu. Segala kelemahan dasar manusiawi kita dapat kikis berkat dan oleh cinta. Cintalah yang membuat hidup menjadi lebih hidup. Bikin hidup lebih hidup.
            Praktek mencinta tanpa syarat memang berat, tetapi harus dilakukan. Hidup ini dinamis, selalu berkembang, maka manusia pun harus selalu ber-proses untuk menjadi pribadi yang mencinta. Seorang psikolog Amerika, M.Scott Peck,M.D. mengingatkan kita : “Mereka yang berhenti  belajar dan bertumbuh sejak dini dalam kehidupan mereka dan selanjutnya tidak pernah berubah lagi, sering terperosok  ke dalam keadaan yang kadang kala disebut masa kanak-kanak kedua : manja, banyak menuntut dan egois, hanya mementingkan diri sendiri”.

Akhir kata

            Kitab Suci menggambarkan Allah kita sebagai Allah yang pemaaf, Allah yang penuh kerahiman, Allah yang sabar, Allah yang pengampun, Allah yang merangkul orang-orang jahat.  Salah satunya yang terkenal adalah cerita tentang anak yang hilang (Lukas 15). Untuk mendapatkan kerahiman Allah syaratnya begitu mudah, dengan memohon dan menyadari betapa besarnya kasih karunia Allah. Sungguh beruntungnya kita sebagai orang Kristen  karena mempunyai Allah yang senantiasa siap mengampuni, yang mau merentangkan kedua tanganNya dan menerima orang yang berdosa. Bagaimana dengan kita ?
            Dalam doa Bapa kami (Mat 6:9-13), yang entah sudah berapa kali kita doakan sepanjang hidup kita, terdapat sebuah permohonan : Ampunilah kesalahan kami seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami (ay 12). Apakah kita sungguh-sungguh sudah sadar saat mendoakannya ? Memang tidak ada penjelasan tentang ayat ini, tetapi ada keterangan selanjutnya : Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni juga kamu. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu (ay 14-15). Ini berarti kita berani memohon pengampunan justru karena kita telah mengampuni orang yang bersalah kepada kita. Kita terlebih dahulu diminta untuk murah  hati (Luk 6:36). Allah ingin kita menghadap di hadiratNya sebagai komunitas anak-anak Allah - dengan menyebut Bapa “kami”, dan bukan hanya “aku”  saja.
            Salah satu sumber kebahagiaan yang ternikmat dan terindah jika kita dengan gembira merentangkan kedua tangan kita lebar-lebar seraya memberi ampun atas dosa-dosa dan kesalahan orang lain. Betapa indah diampuni orang lain tetapi lebih indah dan nikmat mengampuni dosa sesama kita. St.Fransiskus Asisi mengajarkan doa yang indah : “Tuhan, buatlah aku lebih mengampuni daripada diampuni…”
Dengan mengampuni berarti kita mengurangi bertambahnya luka pada Hati Kudus Yesus
Tidak percaya? Cobalah !

CINTA YANG BERNYALA-NYALA



Hati Kudus Yesus
Acapkali manusia ingin selalu menghindari penderitaan. Mengapa ?  Karena penderitaan dianggap malapetaka yang menimpa seseorang. Penderitaan bukan sebuah nilai dan karena itu tidak pernah dicari  dan dijadikan tujuan utama  hidup manusia. Penderitaan yang terwujud dalam bentuk kemiskinan, keterbelakangan, penyakit, keterasingan,  perang, bencana, selalu dijauhkan oleh manusia dari hidupnya.
Tapi anehnya, tiada kehidupan tanpa penderitaan. Tidak perlu dicari, penderitaan selalu ada dan menyatu dalam manusia dan hidupnya. Itulah kenyataan yang jelas dan pasti. Dari saat kelahiran, orang sudah harus mengalami diri ditarik keluar dari rasa aman, damai, tenang dan terlindung. Saat itu ditandai dengan susah payah, sakit dan mengalirkan darah (Kej 3:16). Setelah bisa menggunakan akal budi, manusia selalu mengalami konflik antara keinginan dan kenyataan.
            Dalam diri sendiri tidak terhindarkan terjadi pertentangan antar-keinginan yang kemunculannya bersifat spontan dan tak beraturan. Dalam kebersamaan dengan orang lain, kebebasan pribadi hampir selalu beradu dengan kebebasan bersama. Berada di tengah alam, setiap saat manusia dikelilingi penyakit, bencana, kecelakaan. Berhadapan dengan Tuhan, manusia diliputi kuasa yang terhadapnya ia sama sekali tidak berdaya. Semakin tegas memilih yang baik, benar, dan indah, manusia itu semakin keras bermusuhan, bertentangan, dan menyatakan perang dengan yang buruk, salah , dan jelek. Pada akhirnya manusia harus melepaskannya segalanya di dunia ini melalui peristiwa kematian.
            Meskipun bukan nilai, penderitaan memiliki sesuatu yang dapat membuat hidup seseorang menjadi lebih seimbang. Penderitaan merupakan alat untuk mencapai suatu nilai.  Kalau sungguh dihayati, penderitaan merupakan berkat tersembunyi yang membuat orang dapat menghidupi hidupnya secara seimbang. Yesus sendiri , yang adalah Putera Allah, harus menderita, bahkan sampai mati di kayu salib. Peristiwa inkarnasi adalah permulaan penderitaan Yesus sebagai manusia.
            Dimulai dari dalam kandungan, lalu lahir di kandang domba yang dingin, harus mengungsi ke Mesir, ditolak oleh bangsaNya sendiri, dihianati para murid, memanggul salibnya ke puncak Golgota,  dan akhirnya mati konyol sebagai seorang penjahat. Ketika di kayu salib pun ia masih menderita, diejek karena tidak bisa menyelamatkan diriNya sendiri, bahkan setelah mati pun lambungnya ditikam dengan tombak yang menembus hatiNya yang mengalirkan air dan darah. Dengan demikian terpenuhi sabda Yesus :”Dari dalam hati akan mengalir aliran-aliran air yang memberi  kehidupan “. ( Yoh 7:39, Bdk Yoh 19:34-37).

Cinta kasih Penebus yang bernyala-nyala
            Hati Yesus tidak hanya tertembus tombak di kayu salib, tetapi terbakar juga oleh cinta yang bernyala-nyala kepada manusia, walaupun manusia bersikap cuek terhadap segala penderitaannya. Hati Yesus adalah lambang dan sekaligus ungkapan cinta kasih Allah kepada manusia. Hati Kudus Yesus adalah hati manusia Yesus Kristus. Sebagai hati insani, “hati Yesus” merupakan lambang pusat kepribadian Yesus, karena hati merupakan pusat perasaan, kebebasan dan kesadaran Tuhan Yesus. Dari dalam hatiNya Yesus menyerahkan diri kepada misteri Allah dan karya keselamatanNya demi kehidupan manusia. Maka Hati  Yesus adalah lambang unggul cinta kasih ilahi.
            Kepada Sr. Margaretha Maria Alacoque (1647-1690) Yesus menyampaikan pesannya : “Ingatlah akan HatiKu yang begitu mencintai manusia hingga habis-habisan , bahkan menjadi lelah dan habis terbakar oleh cinta itu. Sebagai pengganti terima kasih, Aku menerima dari banyak orang hanya sikap acuh tak acuh, ketidak sopanan dan dosa sakrilegi, sikap dingin dan caci maki !”

Kerinduan Hati-Nya Untuk Mendapatkan  Balasan Cinta Kasih
Penderitaan Yesus tidak hanya berhenti di kayu salib.  Hati Yesus terluka bukan hanya oleh tusukan tombak  yang menembus jantungnya ketika tergantung di kayu salib. Hati Yesus semakin terluka oleh perbutan manusia yang tidak peduli pada sesama, mereka yang menderita,  lemah, miskin, dan terpinggirkan.  Hati-Nya semakin terluka ketika kita tidak pernah bersyukur atas segala rahmat yang kita terima dari pada-Nya. Dan sesungguhnya inti hidup beriman adalah bersyukur, bukan memohon atau meminta karena merasa khawatir. Betapa pandainya kita meminta dan memohon. Namun betapa sulitnya atau betapa kurangnya kita bersyukur. Padahal hanya dengan bersyukur, kita bisa mengalami betapa Allah sungguh tidak pernah menelantarkan kita. Syukur telah mencelikkan mata kita bahwa Allah telah menganugerahkan banyak hal yang kita butuhkan. Dan bila semuanya kita syukuri, akan datang lagi hal-hal lebih besar yang tidak kita bayangkan sebelumnya. Syukur, akan membantu kita untuk melihat hidup dan diri kita dengan lebih positif. Dengan syukur , segala jalan akan terbuka, dan hidup ini terasa penuh kelimpahan, lebih daripada yang kita duga.
Duri yang memahkotai hati Yesus semakin bertambah ketika manusia-manusia modern tidak membalas cinta-Nya. Ketika para umat Allah tidak peduli  lagi dengan  Perayaan Ekaristi, sebagai perayaan Cinta kasih Allah. Ketika kita sibuk bermain dengan handpohone pada saat perayaan Ekaristi. Ketika kita tidak pernah mengunjunginya dalam adorasi , tetapi justru  kita mengganti tabernakel dengan televisi.

Penderitaan, karena tidak dibalas CintaNya, tetapi malah diinjak-injak
            Yesus, dan juga banyak orang  mengalami penderitaan karena  tidak mendapatkan cinta yang seharusnya mereka dapatkan.  Hilangnya semangat berkorban  berbela dan berbagi rasa.  Kehidupan manusia penuh budaya konsumtif, hedonis dan lain-lain.  Hedonisme adalah suatu paham yang menjadikan kenikmatan hidup diatas segala-galanya dan tidak memandang pengorbanan sebagai yang perlu. Semboyan yang diangkat Muda foya-foya, Tua kaya raya, mati maunya masuk surga. Orang-orang hedonis melihat penderitaan melulu sebagai hal yang jelek, jahat, sehingga harus dimusnahkan dari muka bumi ini. Semangat berkorban , seperti peduli pada orang miskin, kecil ,dan terpinggirkan adalah bertentangan dengan kenikmatan hidup. Rasa keadilan, rasa cinta kasih akan mati.
            Penderitaan Yesus semakin bertambah jika  budaya dan semangat ini tumbuh subur, lebih-lebih di kalangan para pengikut Yesus.

Menimba kekuatan lewat devosi Hati Kudus Yesus
            Dimanakah kita menimba kekuatan cinta dan kehidupan, di saat dunia penuh budaya konsumtif, hedonis dan lain-lain ? Manusia terbelenggu peradaban  untuk mengenal Allah dan sesame. Manusia melupakan kehadiran Allah dan sesamanya, dan bahaya yang mengancam manusia justru semakin nyata ; manusia dipisahkan dari cinta.
            Kekuatan cinta  dan kehidupan Hati Kudus Yesus menjadi salah satu jawaban. Hati Kudus Yesus  mendorong kita untuk membuka hati bagi sesama. Kita bisa melatih diri untuk menyadari kehadiran Kristus dalam diri mereka yang miskin, lemah , tertindas dan siapa saja yang membutuhkan perhatian. Bersama  HatiNya yang Kudus, kita ikut mencari jalan dan membangun kehidupan masyarakat yang lebih manusiawi, yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan cinta kasih.
            Dengan devosi kepada Hati KudusNya kita diajak tinggal bersama Yesus, sehingga kasih Yesus menjadi kualitas hidup kita, dan kita bisa bekerja seperti dan bersama dengan Yesus.  Semangat Yesus menjadi semangat kita , dan hidup Yesus menjadi Hidup kita.
Ya Yesus, jadikanlah hatiku seperti Hati-Mu. Semoga.
oleh :
Deddy Dismas
  


           

MENYEGARKAN JANJI PERNIKAHAN

Oleh : Deddy Dismas

Di beberapa paroki di Keuskupan Malang – juga di beberapa paroki di Keuskupan lain- , pada  minggu keempat setiap bulan diselenggarakan upacara pembaharuan janji perkawinan bagi pasangan suami  isteri Katolik  yang berulang tahun perkawinan pada bulan yang bersangkutan.  Sayang sekali, bahwa moment yang begitu indah, dimana kita bisa menyegarkan kembali janji setia kita pada pasangan hidup kita kurang  begitu diminati.  Tentu ini adalah tantangan dalam berpastoral .
Apakah kita menyadari betapa pentingnya penyegaran janji perkawinan ? Kadang kita hanya memikirkan bagaimana mempersiapkan diri  pada saat hari pernikahan tiba dengan segala yang terbaik. Mulai dari gedung, pakaian, catering, event organizer, dekorasi, tata rias  pengantin, dan segala tetek bengek lainnya.  
Persiapan resepsi pernikahan yang begitu megah, melibatkan banyak orang dan jasa professional. Untuk menjadi raja dan ratu sehari. Seakan berada dalam negeri dongeng. Tapi apa yang terjadi, setelah pesta berakhir, kita akan hidup dalam realitas sehari-hari. Cinta yang berkobar- kobar, keindahan-keindahan yang ada , yang pernah kita pertontonkan pada banyak orang perlahan-lahan meredup.  Redup, karena dalam perjalanan  pernikahan,  kita akan dihampiri  mendung, diselimuti awan tebal, jalan penuh liku. 
Lantas bagaimana kita menghidupkan kembali cinta yang mulai meredup ? Apa kita mau membiarkan saja dan akhirnya padam ? Tentu saja tidak bukan ? Tulisan sederhana ini hanyalah  sebuah syaring. Bagaimana menghidupkan kembali cinta lama yang mulai meredup, dan  akhirnya penulis ingin mengajak anda sekalian untuk melihat dan tanda-tanda cinta dalam hidup perkawinan.

Setia Dalam Untung Dan Malang
            Bagi kebanyakan orang kata setia adalah kata yang menakutkan. Terlebih bila seseorang harus setia kepada pasangan untuk selamanya, dalam untung dan malang, seperti yang dijanjikan kedua mempelai pada saat pernikahan.  Bandingkan keadaan saat ini, dimana angka perceraian di masyarakat kita sedemikian tinggi. Bagaimana kisah kawin-cerai para selebritis. Kendati demikian, toh kesetiaan tetaplah nilai yang berharga dalam kehidupan bersama. Tindakan setia dengan apa yang dijanjikan pada masa yang akan datang, menjadikan kita sebagai pribadi yang bisa dipercaya dan diandalkan.  Dengan demikian kesetiaan saya memenuhi janji dan sumpah, menentukan nilai diri saya. Janji setia ini pula merupakan jaminan dan kepastian bahwa pasangan saya mau tetap mendampingi saya,  dalam keadaan apapun. Begitu juga sebaliknya. Tentu saja hal ini memberikan kedamaian dan ketenangan di hati  bahwa saya tidak akan berjalan sendirian. Lebih dari semua itu, janji setia  perkawinan diucapkan di hadapan Tuhan. Artinya, Tuhan menjadi saksi atas janji setia kami. Apa yang saya janjikan harus saya pegang teguh, dan mesti dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan.
            Janji setia dalam untung dan malang menjadi sungguh bermakna ketika kami berdua mengalami kemalangan. Salah satu pengalaman yang terjadi beberapa bulan yang lalu,  ketika pasangan saya mengalami kecelakaan yang menyebabkan tulang selangka kanan  (Clavicula Dextra) patah, dan harus dioperasi.  Dalam situasi itu,  kedalaman  cinta dan kesetiaan saya diuji dan diukur. Beberapa  romo meneguhkan dan mengatakan bahwa kemalangan itu  untuk mengujiku,  apakah saya sungguh suami yang setia atau tidak.
            Pernikahan bukan hanya soal perasaan. Pernikahan tidak hanya dilandasi oleh perasaan cinta yang bisa mengalami pasang surut, seiring dengan berjalannya waktu dan aneka kesulitan yang dihadapi.  Bukankah perasaan kita pun sering terpengaruh oleh cuaca.  Ketika hari cerah, kita pasti bersemangat, ketika mendung kita pun menjadi enggan untuk melakukan aktifitas. Karena kita sudah berkomitmen, maka kita akan proaktif mencari solusi : misalnya membawa payung, jas hujan, dsb.  Perkawinan pun mesti berlandaskan komitmen, janji untuk saling setia kepada pasangan, di hadapan Tuhan dan para saksi.
            Pembaharuan janji pernikahan, adalah pembaharuan untuk tetap memegang komitmen untuk setia  dan saling mencintai pasangan dalam untung dan malang. Janji-janji pernikahan disegarkan kembali. Janji pernikahan diperbaharui. Perkawinan kami masih muda,  bukan berarti kami tidak perlu membaharui dan menyegarkan komitment itu. Dalam beberapa kesempatan, dalam misa pembaharuan janji pernikahan, kami membaharui komitment untuk saling setia. Juga dalam kesempatan rekoleksi dan retret keluarga, kami pun membaharui janji pernikahan kami.  Pembaharuan janji nikah membantu kami untuk mengobarkan cinta lama yang mulai meredup. Cinta lama bersemi kembali.
Tanda Cinta dalam Perkawinan
Tentu saya tidak menginginkan bahwa perkawinan saya sekedar tenang namun gersang. Sekedar untuk mempertahankan komitmen perkawinan, tapi tiada lagi kehangatan dan kemesraan.  Bukankah Yesus mengundang kita untuk hidup dalam berkelimpahan (Yoh 10:10).  Maka  dalam perkawinan sangat penting pelbagai upaya untuk mengobarkan perasaan cinta pada pasangan.  Ada beberapa tanda cinta  dan bagaimana menumbuhkan cinta dalam perkawinan.
Pertama, sikap hormat ( the sign of respect). Cinta tidak bisa bertahan kalau suami isteri gagal menunjukkan rasa hormat sejati dan menghargai pasangannya secara pribadi, bersama, atau di hadapan orang lain. Supaya cinta dapat  hidup terus mereka harus menghindari kata-kata dan tindakan yang mengandung atau mengungkapkan rasa tidak hormat. Sejauh mana anda memberikan rasa hormat sebagai bukti cinta anda pada isteri/suami ?
Kedua, kata-kata (the sign of words). Cinta antara suami dan isteri perlu dipelihara agar bertumbuh terus. Cinta ini bisa menjadi kerdil kalau jarang diungkapkan dengan kata-kata. Terdapat beribu-ribu cara yang dapat dipakai pasangan yang telah menikah untuk melanggengkan cinta mereka dalam bentuk kata-kata selain Aku Cinta Kamu. Pernyataan kata-kata yang mengandung ucapan terima kasih, penghargaan, kekaguman, simpati, hiburan, dorongan. Kapan terakhir kali anda mengatakan ‘Aku Cinta Padamu’  pada pasangan anda ?
Ketiga, hadiah (the sign of gift).  Defenisi yang tepat dari cinta adalah “ingin memberi”. Orang beranggapan bahwa  setelah menikah  berarti semuanya menjadi milik bersama sehingga tidak dibutuhkan lagi untuk memberikan hadiah satu sama lain. Mereka lupa prinsip utama bahwa cinta harus dinyatakan dan salah satu pernyataan yang sangat berdaya guna ialah memberikan hadiah kepada orang yang dicintai.  Ketika merayakan Ulang tahun, apakah anda memberikan hadiah pada pasangan anda ? Hadiah itu tidak perlu mahal atau hebat.
Keempat, persahabatan (the sign of companionship). Ketika baru saja menikah, banyak pasangan tidak cukup mengenal satu sama lain. Secara naluriah cinta mendorong mereka untuk saling memberikan tanda cinta sejati yang secara implisit muncul dalam keinginan untuk menjadi satu dengan si dia yang dicintai.
Peran sebagai sahabat dihidupi dengan cara keduanya saling menjadi teman boicara dan teman curhat. Keduanya tidak hanya berbicara ketika ada masalah yang mesti didiskusikan dipecahkan bersama. Keduanya juga mau berbicara dalam tataran hati, mau mensharingkan pengalaman, perasaan, cita-cita, harapan, ketakutan, kecemasan dan juga kejengkelan hati.
Aneh bahwa setelah lama menikah mereka tidak lagi menunjukkan perhatian sedikit pun untuk selalu bersama. Bahkan , mereka berusaha untuk menghindar dari kebersamaan. Mereka makan di meja yang sama. Mereka tidur dalam kamar yang sama. Mereka mencari uang untuk keluarga dan tidak mau berbuat dosa demi keutuhan keluarga. Tetapi sayangnya mereka tidak menunjukkan rasa persahabatan.
Apakah anda masing-masing  menjadi sahabat yang setia, pendengar yang baik, tempat curhat untuk menyampaikan uneg-uneg dan kekesalan hati ?
Kelima, penampilan (the sign of appereance).  Salah satu bentuk pernyataan cinta yang bisa menguatkan cinta ialah perhatian terhadap penampilan seseorang. Isteri harus berusaha untuk menjaga daya tariknya pada suami. Demikian pula suami harus menghindari  sedapat mungkin penampilan yang menjijikan isterinya.
Keenam, perhatian lebih (the sign of preference). Tentang perkawinan, Kitab suci mengatakan  , “ Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya sehingga keduanya menjadi satu daging”. Maka,  pentinglah dalam perkawinan sang suami menunjukkan bahwa ia lebih menyukai dan memberi perhatian yang lebih kepada isterinya ketimbang kepada siapa saja di dunia ini. Demikian pula sang isteri. Sudahkan anda member perhatian lebih pada pasangan anda ?
Ketujuh, tanggungjawab (the sign of responsibiility). Begitu kawin, maka pasangan itu bertanggungjawab atas keluarga mereka. Pada umumnya suami bertanggung jawab mencari nafkah untuk keluarga. Isteri bertanggungjawab untuk memelihara keluarga. Keduanya saling mendorong dan menolong dalam tugas yang berbeda. Sungguhkan anda menjadi suami/ isteri yang bertanggungjawab ?
Kedelapan, pengorbanan (the sign of sacrifice). Satu dari ukuran cinta sejati dan satu dari pernyataaan yang terus-menerus harus diberikan ialah pengorbanan.  Pengorbanan bertentangan dengan ingat diri.  Ingat diri berarti ingin selalu caranya sendiri. Sikap diktator tidak melestarikan cinta seseorang.  Salah satu Bentuk pengorbanan  adalah mengampuni. Di dunia ini terdapat sedikit sekali manusia yang sempurna.  Bahkan kadang-kadang orang pasti membuat kesalahan  terhadap orang lain. Perkawinan sangat menuntut pengampunan. Beranikah anda meminta maaf dan member maaf pada pasangan anda ?
Kesembilan, seks (the sign of sex). Di antara banyak pernyataan cinta yang lain, dituntut penggunaan seks yang sangat penting untuk menghidupkan cinta perkawinan. Cinta perkawinan memberikan hak untuk menggunakan tubuh dalam mengembangkan keturunan. Tujuan dari seks adalah ungkapan cinta dan melahirkan anak.

Akhir Kata
            Komitmen untuk saling setia dan mencintai pasangan  dalam untung dan malang, setiap saat perlu diperbaharui, salah satunya lewat Pembaharuan Janji Pernikahan.  Komitmen yang telah kita – anda dan saya-  ucapkan di hadapan Tuhan , akan kita pertangungjawabkan di hadapan Tuhan. Tuhan tidak menuntut kita untuk sukses, melainkan setia dengan komitmen kita. Tuhan akan terus mengulurkan tangannya agar perjalanan perkawinan kita langgeng, sampai maut memisahkan. Semoga.
CIMG3562

MENIKAH, SIAPA TAKUT ? Pria Enggan Menikah ?


 Beberapa waktu lalu seorang teman wanita  - sebut saja Desi- mengirim pesan singkat dan email sambil  menceritakan kekesalannya pada sang kekasih karena selalu mengelak ketika diajak membicarakan pernikahan. Padahal –menurut Desi-  mereka sudah  lama berpacaran  bahkan telah memasuki tahun kelima. Bagi Desi –dan  saya kira perempuan pada umumnya- hubungan dengan orang tercinta akan semakin kuat jika terikat pada suatu lembaga perkawinan. Maka tidak heran jika wanita mempertayakan kepastian pernikahan pada pasangannya.
Lain Desi lain  Wisnu. Wisnu adalah sahabat dan teman dekat ketika kuliah. Persahabatan kami bukan hanya di bangku kuliah, tapi masih berjalan hingga sekarang. Dalam suatu kesempatan perjalanan ke luar kota, kami sempat omong banyak tentang pernikahan. Dia menceritakan rencana pernikahannya yang akan digelar akhir bulan Juni ini.  Saya pun diundang untuk bisa hadir bersama keluarga. Saya senang ketika mendengar berita baik ini. Pasalnya , beberapa tahun lalu, saya mendengar kabar bahwa Wisnu akan  segera mengakhiri masa lajangnya. Tapi  belum juga terjadi. Ketika saya mencoba  menanyakan mengapa ia  menunda pernikahannya, banyak alasan yang disampaikannya.
Saya pun pernah ragu ketika pasangan saya dan juga seluruh anggota keluarganya menanyakan waktu pernikahan.  “Ded, kapan kalian menikah ? Tunggu apa lagi?” Pertanyaan , lebih-lebih tentang  waktu pernikahan adalah pertanyaan  sensitif  bagi  saya – dan saya kira juga bagi kebanyakan pria.
Ada apa sebenarnya dengan para pria ? Ketika diajak membicarakan pernikahan , mereka selalu mengulur waktu, mengalihkan topik pembicaraan, bahkan ada yang mundur begitu saja ? Memang sih tidak semua pria. Tapi seandainya anda mengalami hal demikian, apa yang anda lakukan ? Apakah langsung meninggalkan pasangan anda begitu saja, dan mencari penggantinya ? Ah tentu saja tidak. Membangun hubungan yang baru juga tidak mudah. Apalagi jika anda sudah cinta mati. Betul enggak ??
Dari pengalaman dan beberapa syaring bersama teman pria, ada beberapa alasan mengapa pria seperti itu . Pertama, kesiapan finansial adalah alasan yang sering terdengar dan paling masuk akal. Pria seringkali kurang percaya diri untuk membiayai kehidupannya, juga kehidupan anak dan istrinya kelak.  Jangankan untuk membiayai anak dan isteri, untuk membiayai hidup sendiri pun belum mapan. Kondisi finansial yang belum mapan membuat para pria takut tidak mampu membahagiakan isteri dan anaknya secara materi.
Lantas bagaimana ? John Gray,PhD mengatakan bahwa salah satu kebutuhan primer seorang pria adalah kepercayaan. Maka, bangkitkanlah kepercayaan dirinya. Yakinkan pasangan anda     ( si  pria) bahwa masalah finansial memang menjadi salah satu yang mendasar dalam sebuah keluarga, tapi itu bukan tanggungjawab penuh dan harus dipikul sendiri oleh pria. Masalah finansial dapat ditangggung bersama.  Pengalaman membuktikan , bahwa banyak pasangan mengalami mukjizat pernikahan. Penghasilan  yang pas-pasan untuk hidup seorang diri, ternyata cukup untuk hidup dengan satu isteri dan dua anak. Bahkan masih bisa disisihkan untuk menabung. Kok bisa ? Tentu saja bisa terjadi kalau ada rasa syukur dalam keluarga.  “Janganlah hendaknya kamu khawatir tentang apa pun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur”. (Fil 4:6)
Kedua, kebanyakan pria beranggapan bahwa menikah berarti membatasi pergaulannya dengan teman-temannya. Tidak dapat berlaku bebas seperti saat melajang.  Umumnya pria berpikir tidak pandai membagi waktu antara keluarga dan teman-teman.
Lantas bagaimana ? John Gray mengibaratkan pria seperti karet gelang. Selain keintiman, pria membutuhkan kebebasan atau otonomi juga. Maka, yakinkan pasangan anda ( si pria)  bahwa pernikahan tidak merubah segalanya. Sekalipun sudah menikah, dia boleh tetap  memiliki pergaulan, yang penting keluarga tetap menjadi prioritasnya.
Ketiga, perasaan cemas jika setelah menikah akan jatuh cinta pada wanita lain. Pria sangat menjunjung tinggi kehidupan cintanya. Maka kecemasan itu selalu ada. Bahkan takut jika hubungan percintaannya tidak seindah masa pacaran.
Lantas bagaimana ? Pada dasarnya manusia dapat mengatasi kesulitannya. Namun , terkadang ada beban tambahan berupa penyesalan masa silam dan kecemasan masa depan. Rasa cemas menunjukkan keadaan tidak tentramnya hati karena khawatir terhadap sesuatu yang belum diketahui dengan pasti. Rasa cemas  dapat mengganggu ketenangan hidup.
Mengapa merusak saat sekarang ini dengan kegelisahan dan kecemasan ? Hari ini telah kamu dapatkan. Hari kemarin telah berlalu, dan hari esok masih fantasi. Sembilan puluh persen hal-hal yang kita khawatirkan tak pernah terjadi. Silahkan kita membuat rencana untuk masa depan , tetapi kita bisa belajar untuk melakukan itu tanpa kegelisahan yang tak perlu.
Kalau pernikahan dilandasi rasa saling mencintai mengapa takut pindah ke lain hati? Banyak pasangan – pasangan yang  hidup pernikahannya bisa langgeng dan bahagia. Bandingkan dengan pengalaman keluarga anda. Yakinkan bahwa pernikahan bukan akhir dari kebahagiaan, tetapi awal untuk memulai kehidupan yang lebih membahagiakan.
Keempat, trauma pada kegagalan rumah tangga orang tua, saudara atau teman dekat bisa juga menjadi alasan mengapa pria enggan menikah dan membina rumah tangga. Kegagalan menjadi hal yang menakutkan.
Lantas bagaimana ? Selain butuh kepercayaan, Pria membutuhkan juga dorongan. Sikap wanita yang memberikan dukungan dan dorongan akan memberi harapan dan keberaniaan pada pria. Kalau sikap wanita menyatakan rasa percaya, penerimaan, apresiasi, kekaguman dan pengakuan, niscaya pria akan berusaha menjadi yang terbaik.
 Jalan hidup setiap orang berbeda.  Seorang anak, tidak berarti akan bernasib sama dengan orang tuanya atau saudaranya. Yakinkan pasangan anda ( si pria) bahwa hal penting dalam perkawinan adalah meramu  dan mengerjakan bersama-sama masa depannya. Suami isterilah yang membina dan meramu masa depannya sendiri. Rumah tangga adalah ibarat sebuah perahu yang sedang berlayar. Dua insan masing-masing memegang pendayung. Kalau irama dayung tidak serasi, maka perahu akan berputar-putar di tempat dan tidak akan mencapai tujuan.




Jumat, 05 Agustus 2011

Menemukan Kembali Spiritualitas Devosi




Rapat Pleno Komisi Liturgi Konferensi Waligereja Indonesia yang diselenggarakan pada 18-22 Juli 2011 di Graha Wacana, SVD Family Centre, Jalan Raya Ledug 5 A, Prigen, Pasuruan, Jawa Timur. Pertemuan yang dihadiri oleh para Utusan Keuskupan se-Indonesia, para Dosen Liturgi, dan anggota Dewan Pleno Komisi Liturgi KWI ini memilih tema: ”Menemukan Kembali Spiritualitas Devosi.”  

Latar Belakang

Pengalaman devosi merupakan suasana yang dominan dalam kehidupan umat. Devosi membantu umat untuk mengungkapkan hubungan dengan Allah dan untuk menumbuhkembangkan iman. Namun, seringkali devosi dilakukan semata-mata untuk menuruti perasaan pribadi tanpa memperhatikan kebenaran iman yang seharusnya terungkap di dalamnya dan tanpa memperhatikan dampaknya bagi sesama umat beriman. Selain itu, devosi yang dilakukan oleh umat pada umumnya didasari oleh kebutuhan pribadi umat dengan harapan bahwa Allah akan memenuhi kebutuhannya. Karena merasa puas dengan menjalankan devosi, banyak orang yang kemudian kurang menghayati dan kurang menghargai liturgi. Apalagi, liturgi dirasa sangat kering dan membosankan karena tidak sesuai keinginan dan perasaan pribadinya. Melihat kenyataan itu, seluruh anggota Gereja perlu memahami spiritualitas devosi, kaitan antara devosi dan liturgi, serta bagaimana menjalankan devosi secara benar dan sehat.

Devosi dan Liturgi

Devosi. Dalam devosi orang mengungkapkan bakti kepada pribadi yang dihormati dan dikasihi. Dalam pemahaman religius, devosi diarahkan kepada Allah baik secara langsung maupun melalui orang kudus dengan berbagai cara dan sarana. Devosi yang bersifat personal itu dilakukan dalam kesadaran sebagai anggota Tubuh Kristus. Devosi diungkapkan dalam doa, madah, kebiasaan yang dikaitkan dengan waktu atau tempat tertentu, panji-panji, medali, busana, dan sebagainya. Devosi tidak terikat pada aturan resmi Gereja seperti liturgi. Gereja pun tidak mewajibkan orang beriman untuk melaksanakannya, walaupun kegiatan ini sungguh bernilai dan disukai. Penyelenggaraan devosi, baik urutan maupun unsur-unsurnya, dapat berubah-ubah sesuai dengan keinginan orang yang melaksanakannya. Karena lebih mengikuti keinginan pribadi, devosi tidak terikat pada kebersamaan, walaupun orang-orang yang memiliki keinginan yang sama dapat melakukannya secara bersama-sama.
Liturgi. Berbeda dari devosi, liturgi merupakan kegiatan resmi Gereja yang dilakukan bersama oleh umat demi kepentingan umum dan dengan mengikuti ketentuan yang dikeluarkan oleh Gereja. Dari dirinya sendiri tindakan liturgis mengandung nilai keselamatan. Seluruh perayaan, yang dilaksanakan dengan pola resmi yang telah disepakati, membuat umat beriman mengalami kehadiran Allah dan karya-Nya yang menyelamatkan. Liturgi dipandang sebagai kegiatan yang harus dilaksanakan oleh umat beriman agar hidupnya dalam persekutuan Gereja bertumbuh dan berkembang dengan baik.
Keunggulan Liturgi. Gereja menghargai kedua kegiatan ini karena masing-masing mempunyai peran khusus dalam menumbuhkembangkan iman. Walaupun demikian, liturgi lebih unggul dibandingkan semua bentuk doa Kristiani. Keunggulan itu terletak pada hakikat liturgi sebagai pelaksanaan tugas imamat Yesus Kristus untuk memuliakan Allah dan menguduskan manusia. Karena itu, devosi tidak boleh menjadi saingan dari liturgi. Devosi harus selaras dengan liturgi kudus: bersumber pada liturgi dan menghantar umat kepada perayaan liturgi (Sacrosanctum Concilium 13). Semua kegiatan devosional harus memuncak pada perjumpaan dengan Allah dalam perayaan liturgis.

Penyerasian

Devosi dan Masa Liturgi. Devosi merupakan sarana yang efektif bagi umat untuk menghayati iman dan meraih kesucian. Karena itu, Gereja mengajak umat mempergunakan Masa Liturgi sebagai kesempatan untuk mengarahkan diri pada misteri iman yang dirayakan. Misalnya, dalam masa Prapaskah, Jalan Salib dapat menjadi sarana yang ampuh untuk mengajak umat merenungkan misteri salib Kristus dan memandang salib sebagai jalan untuk bersatu dengan Kristus. Agar umat semakin dapat menghayati nilai spiritual di masa liturgi tertentu, perlu ditawarkan bentuk-bentuk devosi tertentu. Misalnya, pada masa prapaskah, selain jalan salib, bisa juga diadakan devosi kepada Wajah Kristus dan Ibadah Tujuh Sabda; pada masa adven, ketika perayaan liturgi menampilkan peran Yohanes dan Maria, dapat juga dianjurkan devosi kepada kedua orang kudus itu.
Devosi dan Perayaan Liturgi. Dalam sejarah liturgi Gereja beberapa unsur devosional telah diangkat menjadi bagian dari perayaan liturgis setelah melewati proses pembentukan yang dilakukan di bawah kewenangan Gereja. Misalnya, perarakan daun palma menggantikan Ritus Pembuka dalam misa mengenangkan sengsara Tuhan dan perarakan Sakramen Mahakudus menggantikan Ritus Penutup dalam misa pengenangan perjamuan Tuhan. Proses integrasi unsur devosi ke dalam liturgi ini telah ditentukan dengan kriteria dan norma liturgis yang berlaku, sehingga tidak sembarang orang diperkenankan melakukannya.
Devosi dan budaya. Umat yang hidup dalam suasana dan jiwa budaya tertentu dimungkinkan untuk mempergunakan unsur-unsur budaya dalam kegiatan devosional. Contoh, pohon natal biasanya berupa pohon cemara dapat diganti dengan pohon lain yang mempunyai nilai khusus dalam budaya setempat dan makna simbolis yang serupa. Dalam hal ini hendaknya diperhatikan ajuran berikut: “tidak boleh memasukkan ritus-ritus yang dirasuki oleh takhyul ke dalam Gereja, penyembahan berhala, animisme, dan balas dendam atau hal-hal yang tekait dengan seks” (Varietates Legitimae, 48).

Devosi yang Benar dan Sehat

Devosi dan Pertobatan. Devosi yang benar dan sesuai dengan kehendak Allah dalam kesatuan Gereja Katolik mewujudkan gerakan hidup rohani yang akan menghadirkan wajah Gereja yang kudus. Devosi harus didasarkan pada perjumpaan orang beriman dengan Allah, melalui Kitab Suci, sakramen-sakramen, dan karya kasih, serta dalam hati nurani umat beriman. Perlu diingatkan kembali bahwa devosi yang sejati tidak didasari harapan agar Tuhan memenuhi kebutuhan pribadi, tetapi dengan semangat untuk bertobat supaya dapat hidup dalam kesalehan sebagai anggota tubuh Kristus.
Devosi dan Pelayanan. Melalui devosi yang sehat diharapkan umat bertumbuh dalam iman dan kasih persaudaraan sebagai Gereja. Penghayatan devosi yang sehat membuahkan karya kasih di tengah masyarakat.

Harapan Ke depan

Komisi liturgi keuskupan perlu memberi bimbingan yang bijaksana dan berkelanjutan kepada umat agar: 1) memiliki pemahaman yang benar dan baik tentang spiritualitas, tata cara, dan makna dari unsur-unsur devosional (gambar, doa, waktu, lambang), 2) menjalankan devosi sehingga dapat lebih menghayati perayaan liturgi, terutama Ekaristi.
Untuk menjalankan proses katekese ini Komisi Liturgi Keuskupan perlu mengupayakan: 1) materi yang disusun secara sistematis supaya dapat dipahami oleh umat pada umumnya, 2) sarana yang memadai dan efektif, 3) pembinaan tenaga-tenaga pengajar agar memiliki kompetensi dalam bidang ini, 4) dukungan dari pihak-pihak yang bertanggung jawab langsung atas pembinaan iman umat.
Seluruh rangkaian pertemuan ini telah melalui beberapa tahap yang meliputi: survei untuk mencari data faktual, refleksi bersama dengan bantuan para narasumber, serta merumuskan kepedulian dan kesepakatan.

Menuju Perayaan Ekaristi Yang Benar

Tahun 2005 dicanangkan sebagai Tahun Ekaristi. Pada hari Kamis Putih 17
April 2003, Paus Johanes Paul II menerbitkan sebuah ensiklik khusus tentang Ekaristi, Ecclesia de Eucharistia [Ensiklik no. 52]. Paus telah memberikan mandat kepada Kongregasi untuk Ibadat dan Disiplin Sakramen-sakramen bekerja sama dengan Kongregasi Ajaran Iman untuk mempersiapkan instruksi yang berisikan disiplin tentang Sakramen Ekaristi. Instruksi itu telah selesai 19 Maret 2004 dan diterbitkan pada tanggal 25 Maret 2004 dengan judul Redemptionis Sacramentum yang berisi 8 bab dan memuat 186 artikel. Instruksi tersebut telah ditandatangani Prefek Kongregasi untuk Ibadat dan Disiplin Sakramen-sakramen, Francis Cardinal Arinze dan juga sekretaris Uskup Agung Domenico Sorrentino. 

Penyimpangan

Instruksi ini mengungkapkan bahwa selama ini, ada banyak penyimpangan dalam pelaksanaan perayaan Ekaristi, yaitu adanya ungkapan-ungkapan dan juga tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan tradisi dan ajaran Gereja Katolik Roma, sehingga ada ketimpangan antara lex orandi dan superficial. Padahal tidak seorangpun, bahkan tidak seorang imam pun boleh mengubah, menambah atau menggantikan liturgi gereja, kecuali Tahta Suci dan Uskup diosesan dalam batas-batas wewenang menurut hukum. Pada tahun 1970, Vatikan telah mengumumkan bahwa segala bentuk coba-coba dan eksperimen yang berhubungan dengan Misa agar dihentikan. Permintaan ini diulangi lagi pada tahun 1988. Namun yang terjadi adalah improvisiasi dan eksperimen masih terus berlangsung di banyak tempat dan oleh banyak imam dan awam. Tahta Suci merasa prihatin akan hal ini dan merasa perlu mengeluarkan instruksi tentang Misa Kudus, agar kesucian dan sifat kesatuan universal ritus Roma tidak dilukai dan menjadi kabur.
Khusus, perkembangan apa yang terjadi pada gereja Katolik di Indonesia masa kini :
*    Kini, banyak umat awam terlibat dalam Misa tidak hanya sebagai lektor, akolit, misdinar, tetapi juga sebagai pembagi komuni [asisten imam]. Ini suatu hal yang baik dan dihargai, namun semuanya itu harus sesuai dengan perannya yang tepat.
*    Mengenai asisten imam, dikatakan bahwa mereka bertugas bukanlah demi partisipasi penuh awam dalam perayaan Ekaristi, tetapi lebih-lebih dari kodratnya, bersifat pelengkap dan sementara, karena terbatasnya jumlah imam [no. 151].
*    Karena hanya imamlah pelayan sesungguhnya dari Sakramen Ekaristi. Nama atau sebutan yang tepat untuk petugas awam ini adalah "pelayan luar biasa Komuni Suci" dan bukan "pelayan khusus Komuni Suci" dan bukan juga "pelayan luar biasa dari Ekaristi" ataupun "pelayan khusus Ekaristi” karena nama-nama dan sebutan-sebutan ini tidak cocok dan terlalu luas fungsinya [no. 156].
*    Dalam menjalankan tugasnya, asisten imam tidak boleh mendelegasikan pelayanannya kepada orang lain [no. 159].
*    Diingatkan, bahwa asisten imam tidak diperbolehkan membawa Hosti Kudus ke rumahnya [no. 132].
*    Asisten imam harus langsung membawa Hosti Kudus kepada orang sakit, tanpa singgah dulu di tempat lain untuk urusan profan tertentu [no. 133].
*    Peralatan Misa untuk Tubuh dan Darah Kristus, haruslah yang terbuat
dari barang berharga. Ketentuan ini memiliki arti bahwa dengan memakai
barang-barang tersebut, kita memberikan kehormatan dan kemuliaan bagi Allah. Maka  janganlah dipakai benda-benda umum/yang berkualitas jelek/benda-benda antik/artistik yang terbuat dari gelas, tanah liat atau materi yang mudah pecah [no. 117].
*    Pakaian imam jika merayakan Misa: Alba, Stola dan Kasula. Imam tidak boleh tidak memakai stola [no. 123].
*    Bertentangan dengan ketentuan dalam buku-buku liturgi, jika imam merayakan Misa atau ritus lainnya hanya dengan Stola di atas pakaian religius [jubah/biara] atau dengan pakaian awam biasa; ritus harus dirayakan dengan pakaian suci/Alba [no.126].
*    Imam dilarang untuk merayakan Misa di kuil/tempat suci agama non Kristen lainnya [no. 109].


Lalu penyimpangan apa saja yang sering terjadi adalah:

Ø   Awam, bahkan seorang bruder/frater/suster tidak boleh membacakan injil  dalam Misa, hanya imam [no. 63].
Ø   Bacaan Kitab Suci tidak boleh dihilangkan atau diganti atas dasar inisiatif sendiri atau diganti dengan bacaan-bacaan non Biblis [no. 62].
Ø  Awam termasuk seminaris, mahasiswa teologi dan petugas pastoral tidak boleh berkotbah dalam Misa Kudus [no. 64, 66].
Ø   Hanya imam yang berkotbah, dan kotbah tersebut harus berdasarkan Kitab Suci dan berujung pangkal pada Kristus, bukan hanya berceritera tentang masalah politik atau hal-hal profan [no. 67].
Ø   Diluar Misa, awam dapat berkotbah, tepatnya homili namun kuasa untuk memberi izinnya, berada di tangan Uskup, bukan imam atau diakon  [no. 161].
Ø   Jika ada awam ingin bersaksi tentang kehidupan Kristianinya, kesaksian tersebut sebaiknya dilakukan di luar Misa. Hanya dengan alasan khusus dan berat, kesaksian iman dapat diizinkan dalam Misa, namun hal itu dilakukan sesudah Doa Penutup [no. 74].
Ø   Kecenderungan awam berperan sebagai klerus (klerikalisasi) harus dihindari.
Ø   Untuk menyambut Hosti Kudus, seseorang harus bersih dari dosa berat. Karena itu, setiap orang yang memiliki dosa berat, harus menerima Sakramen Tobat sebelum dapat menyambut Komuni Kudus. Imam yang berdosa, tidak boleh merayakan Misa sebelum menerima Sakramen Tobat  [no. 81].
Ø   Umat boleh menyambut Hosti Suci dengan berlutut/berdiri, menerimanya dengan lidah/di tangan. Namun bila ada bahaya profanisasi, Hosti tidak diberikan di tangan penyambut. Hosti harus segera dikonsumsi dihadapan imam/asisten imam, tidak boleh dibawa pergi.
      Umat tidak boleh mengambil sendiri Hosti dengan tangannya, juga tidak boleh saling memberikan Hosti Suci satu sama lain, seperti yang terjadi misalnya pada Misa Pernikahan, dimana kedua mempelai saling memberikan Hosti Suci [no. 94], karena hanya imam atau asisten imam yang boleh memberikan Hosti Kudus.
Ø   Umumnya umat menyambut komuni dalam satu rupa, yaitu tidak mungkinlah umat menyambut dalam dua rupa dalam Misa Minggu, yakni Tubuh dan darah Kristus. Umat boleh menyambut dalam dua rupa yaitu Tubuh dan Darah Kristus, namun penyambutan Darah Kristus hanya dapat diberikan dalam keadaan tertentu dimana tidak ada resiko profanisasi/umat tidak terlalu banyak/tidak akan ada banyak sisa sesudah semua menyambut. Melihat syarat ini, tidak mungkinlah umat menyambutnya dalam bentuk dua rupa dalam misa hari Minggu.
Ø   Jika Darah Kristus akan disambut, umat menyambutnya dengan meminumnya  langsung dari piala atau dengan mencelupkan/menggunakan sendok/pipet. Di Indonesia yang paling sering terlihat jika umat menyambut dalam dua rupa, maka umat mencelupkan Hosti ke dalam piala. Akan tetapi Roma menyatakan bahwa umat tidak boleh mencelupkan Hosti ke dalam piala  [no. 104].
Ø   Umat menerima Hosti yang tercelup langsung dari imam dan diterima di mulut, bukan di tangan [no. 103].
Ø   Salam Damai dilakukan sesaat sebelum komuni, bukan pada waktu sebelum persembahan. Salam damai hanya dilakukan terhadap orang yang berdekatan, tidak boleh berjalan ke mana-mana dan membuat gaduh, sehingga mengganggu kesakralan Misa. Imam memberikan salam damai kepada para petugas Misa, namun tetap berada di panti imam dan hanya dengan alasan tertentu, imam dapat memperluasnya pada beberapa umat. Salam damai ini hanya menandakan perdamaian, kesatuan dan cinta kasih sebelum menerima Hosti dan bukan/tidak merupakan suatu tindakan rekonsiliasi/penghapusan dosa [no. 71, 72].
Ø   Doa Syukur Agung (DSA) adalah doa presedensial, sehingga doa ini hanya boleh diucapkan imam, tidak boleh diucapkan diakon, asisten imam/umat, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama [no. 52].
Ø   Imam tidak boleh menggubah sendiri/mengubah DSA menurut seleranya sendiri  [no. 51].
Ø   Imam tidak boleh memecahkan Hosti pada waktu konsekrasi [no. 55].
Ø   Tindakan ini hanya boleh dilakukan pada saat pengucapan Anak Domba
Allah, yang menandakan bahwa walaupun umat Allah terdiri dari banyak orang, sesungguhnya adalah satu kesatuan karena berasal dari satu Tubuh yaitu Kristus [no. 73].
Ø   Nama paus dan uskup setempat harus diucapkan dalam DSA, karena hal ini berasal dari tradisi yang sudah sangat kuno dan merupakan manifestasi dari kesatuan seluruh gereja [no. 56].
Ø   Instruksi Redemptionis Sacramentum ini ditujukan tidak hanya kepada para uskup, imam dan diakon, tetapi juga kepada seluruh umat beriman [no. 2].
Ø   Karena itu, setiap orang Katolik, apakah imam, diakon atau awam, yang mungkin pernah menjumpai hal-hal yang janggal yang tidak sesuai dengan instruksi yang dikeluarkan dalam ensiklik tersebut sangat mungkin membicarakan, mendiskusikan, dan memperdalam sebagai sebuah studi lebih lanjut. Namun, semuanya itu harus dilakukan atas dasar itikad baik yang dipenuhi rasa kebenaran dan cinta kasih [no. 184].

.