Oleh : Deddy Dismas
Disakiti atau dikecewakan oleh seseorang mungkin merupakan pengalaman keseharian kita. Kita semua pasti pernah merasa disakiti atau dikecewakan oleh seseorang. Misalnya pengalaman ditipu, dimaki di depan umum, ditampar tanpa sebab, dan sebagainya. Yang terjadi adalah perasaan kita menjadi kecewa, sakit hati dan berujung balas dendam.
Secara manusiawi, prinsip mata ganti mata, gigi ganti gigi adalah prinsip yang dikedepankan. Agenda utama hidup orang yang tersakiti adalah dendam. Mencari cara untuk membalas dendam, Secara perlahan kita akan masuk dalam penjara dendam.
Jika ini dibiarkan, perasaan negatif tadi berpotensi merusak hati kita, seperti tumor ganas yang akan menggerogoti diri kita. Hati berarti pusat dan sumber hidup pribadi manusia, suatu titik konsentrasi pribadi, pusat hidup batin. Dari hati itulah timbul pengertian, perasaan, kesusilaan, keutamaan dan kehendak. Dalam hati itu terasakan kebaikan,keberanian, cinta kasih dan sebagainya.
Pelan namun pasti, dendam akan membuat kita terperangkap dalam suatu lingkaran kebencian yang akan menyerap seluruh energi kita. Untuk keluar dari perangkap ini dibutuhkan pengampunan. Mahatma Gandhi berkata : “ Mengampuni adalah pertanda kekuatan seseorang”. Bila kita mengampuni sebenarnya itu kita buat hanya untuk diri sendiri, bukan untuk siapa-siapa. Kata orang : “Pengampunan adalah dendam yang paling manis”.
Forgiveness : The Power of Love
Mengampuni, mudah untuk dikatakan tapi sangat susah untuk dipraktekkan. Tapi, dengan tidak mengampuni, kita menanam racun dalam diri kita. racun yang bisa merusak diri kita. Pengampunan bisa terjadi ketika manusia bisa masuk dan tinggal dalam kasih Allah. Bagaimana pun kondisi kita, Allah tetap mencintai kita. Cinta yang tanpa pamrih. Kekuatan cinta itu justru terletak dalam pengampunan yang tidak terbatas atas kesalahan orang lain. The power of Love is forgiveness. Peter Breemen, SJ mengatakan bahwa cinta itu terbukti di dalam kesetiaan dan memuncak di dalam pengampunan.
Ketika ditanya berapa kali harus mengampuni, Yesus menjawab tujuh puluh kali tujuh kali (Mat 18:22). Suatu pengampunan yang tanpa batas. Pengampunan yang juga membutuhkan konsistensi dan konsekwensi. Mereka yang bisa menjalankan ajaran Yesus ini, mengasihi, mengampuni orang yang telah berbuat salah, sering dikelompokkan sebagi orang yang aneh bin ajaib, nyentrik.
Tentu kita masih ingat peristiwa 13 Mei 1981, ketika di lapangan St. Petrus, Paus Yohanes Paulus II (1978-2005) dihujani beberapa timah panas oleh Mehmet Ali Agsa. Dalam perjalanan menuju meja operasi Paus mengampuni penembaknya. Sehingga tidak heran jika Rajmohan Gandhi berkomentar : “Paus memperlihatkan sikap manusia berjiwa ilahi”. To err is human, to forgive DIVINE. Khilaf itu manusiawi, memaafkan adalah ilahi.
Apa yang dilakukan oleh Paus Yohanes Paulus II merupakan tindakan seorang murid sejati. Dalam kotbah di Bukit, Yesus mengajak para pengikutNya berdoa bagi orang-orang yang menganiaya mereka (lih. Mat 5:44). Ajakan dan ajaran Yesus ini tentu saja bukan hanya sebuah konsep, tetapi juga konkrit dalam tindakan nyata. Ketika di palang penghinaan-salib-, Yesus berdoa bagi para algojo dan orang-orang yang telah menyiksaNya : ‘Bapa ampunilah mereka sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat’. Yesus pun masih mengampuni seorang penyamun yang disalibkan bersama Dia.
Mengampuni ataupun berdoa memohon pengampunan memang tidak mudah. Namun, menyimpan dendam pun tidak ada untungnya, justru malah membuat diri teraniaya, terpuruk, tercabik-cabik, bahkan bisa menimbulkan luka-luka bathin, dan tentu saja berbagai penyakit fisik sudah menanti.
Pengalaman berbicara bahwa menebar dendam dan rasa benci merupakan actus manusia yang paling gampang daripada memberikan pengampunan dan rasa damai kepada orang lain yang bersalah pada kita. Bahkan membalas kejahatan dengan kejahatan dianggap sesuatu yang wajar, yang sah. Beberapa kultur menganggapnya sebagai suatu hak, sehingga jika tidak dilakukan orang merasa kehilangan harga dirinya, martabatnya?
Semakin gampang kita menyimpan dendam, merancang pembalasan dendam dan menyimpan amarah, semakin gampang pula hati kita menjadi rusak. Kalau sudah demikian seluruh pribadi kita pun rusak. Kita akhirnya terperangkap dan terbelenggu, tidak dapat menikmati kebebasan sebagai orang bebas.
Mengampuni adalah menyembuhkan
Bagaimana untuk menikmati kebebasan sebagai orang bebas ? Untuk dapat menikmati kembali kesembuhan yang membebaskan, untuk mengobati dan mencegah kerusakan hati , obatnya adalah forgiveness- pengampunan. Yesus memberikan perintah untuk mengampuni orang yang bersalah secara tidak terbatas.
Rasa marah dan dendam, adalah ciri manusia yang hidup dalam daging, sedangkan pengampunan dan belas kasihan adalah ciri manusia rohani, atau meminjam istilah Rajmohan : manusia yang berjiwa ilahi. Pengampunan akan sangat menyembuhkan, tidak hanya diri sendiri tetapi juga penganiaya.
Tidak ada yang lebih hebat menghambat kebahagiaan manusia daripada rasa benci, marah dan rasa bersalah. Tidak peduli apa yang dilakukan seseorang terhadap kita atau betapa salahnya mereka, bila kita tidak memaafkan mereka kita juga akan ikut serta menanggung akibatnya. Memaafkan orang lain tidak hanya membebaskan orang lain yang bersalah, tetapi juga membebaskan diri kita dari kelumpuhan. Inilah mukjizat pengampunan. Menyimpan rasa dendam dan amarah memboroskann tenaga yang dapat kita arahkan menuju sukacita. Pengampunan itu menyembuhkan, membuka hati kita, melepaskan emosi yang tersumbat di dalam tubuh, dan membiarkan daya hidup mengalir bebas melalui kita. Mark Victor dan Henry Ward menulis demikian :
Bila kita memutuskan untuk berdamai, Kita membuat jalur hati menuju cinta Tanpa syarat kepada sesama.
Cinta tanpa penghakiman itu merupakan awal keselamatan bathin yang kita cari dan batu loncatan menuju surga.
Dipanggil untuk mencinta
God is Love. Allah adalah Kasih. Karena begitu besar kasihNya akan manusia, Ia mengaruniakan anakNya yang tunggal kepada kita. Karena Allah adalah Cinta –seperti yang dikatakan pengarang injil Yohanes- maka manusia pun sebagai gambar dan rupa Allah pada hakekatnya adalah pribadi yang mencinta. Yesus memberikan perintah baru untuk saling mengasihi satu sama lain sebagaimana Yesus telah mengasihi kita masing-masing. Ini berarti pekerjaan mencinta adalah mutlak dijalankan sebagai suatu panggilan. Bahkan sebagai perintah. Tentu saja kalau manusia menjalankan perintah ini, sukacita Allah akan tinggal dalam diri kita.
Alangkah indahnya pengalaman dicintai. Karena begitu indahnya setiap individu ingin mengalaminya selama mungkin. Sehingga sadar atau tidak sadar manusia bertumbuh dan bergerak menuju pencarian makna cinta sejati. Manusia bergerak dan mengarah pada Allah sebagai sumber Cinta sejati.
Tidak heran jika Arnold Toynbee begitu yakin bahwa cinta merupakan satu-satunya kekuatan spiritual yang dapat menaklukkan egoisme yang melekat dalam setiap individu. Segala kelemahan dasar manusiawi kita dapat kikis berkat dan oleh cinta. Cintalah yang membuat hidup menjadi lebih hidup. Bikin hidup lebih hidup.
Praktek mencinta tanpa syarat memang berat, tetapi harus dilakukan. Hidup ini dinamis, selalu berkembang, maka manusia pun harus selalu ber-proses untuk menjadi pribadi yang mencinta. Seorang psikolog Amerika, M.Scott Peck,M.D. mengingatkan kita : “Mereka yang berhenti belajar dan bertumbuh sejak dini dalam kehidupan mereka dan selanjutnya tidak pernah berubah lagi, sering terperosok ke dalam keadaan yang kadang kala disebut masa kanak-kanak kedua : manja, banyak menuntut dan egois, hanya mementingkan diri sendiri”.
Akhir kata
Kitab Suci menggambarkan Allah kita sebagai Allah yang pemaaf, Allah yang penuh kerahiman, Allah yang sabar, Allah yang pengampun, Allah yang merangkul orang-orang jahat. Salah satunya yang terkenal adalah cerita tentang anak yang hilang (Lukas 15). Untuk mendapatkan kerahiman Allah syaratnya begitu mudah, dengan memohon dan menyadari betapa besarnya kasih karunia Allah. Sungguh beruntungnya kita sebagai orang Kristen karena mempunyai Allah yang senantiasa siap mengampuni, yang mau merentangkan kedua tanganNya dan menerima orang yang berdosa. Bagaimana dengan kita ?
Dalam doa Bapa kami (Mat 6:9-13), yang entah sudah berapa kali kita doakan sepanjang hidup kita, terdapat sebuah permohonan : Ampunilah kesalahan kami seperti kami pun mengampuni yang bersalah kepada kami (ay 12). Apakah kita sungguh-sungguh sudah sadar saat mendoakannya ? Memang tidak ada penjelasan tentang ayat ini, tetapi ada keterangan selanjutnya : Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni juga kamu. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu (ay 14-15). Ini berarti kita berani memohon pengampunan justru karena kita telah mengampuni orang yang bersalah kepada kita. Kita terlebih dahulu diminta untuk murah hati (Luk 6:36). Allah ingin kita menghadap di hadiratNya sebagai komunitas anak-anak Allah - dengan menyebut Bapa “kami”, dan bukan hanya “aku” saja.
Salah satu sumber kebahagiaan yang ternikmat dan terindah jika kita dengan gembira merentangkan kedua tangan kita lebar-lebar seraya memberi ampun atas dosa-dosa dan kesalahan orang lain. Betapa indah diampuni orang lain tetapi lebih indah dan nikmat mengampuni dosa sesama kita. St.Fransiskus Asisi mengajarkan doa yang indah : “Tuhan, buatlah aku lebih mengampuni daripada diampuni…”
Dengan mengampuni berarti kita mengurangi bertambahnya luka pada Hati Kudus Yesus
Tidak percaya? Cobalah !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar