Deddy Dismas
Ketika masih bertugas di kota Kediri, saya selalu menyempatkan diri untuk mengikuti perayaan Ekaristi setiap malam Jumat legi di Gua Maria Puhsarang. Tentu saja bersama ribuan peziarah. Konon para peziarah datang dari berbagai kota di Jawa. Bahkan saya pernah menjumpai peziarah dari Sulawesi, Sumatera dan Kalimantan. Sebelum Perayaan Ekaristi , diawali dengan mendaraskan doa rosario. Perayaan Ekaristi dimulai sekitar jam 24.00 WIB. Sebelum masuk liturgi Ekaristi, petugas membacakan sederet ujud-ujud yang dimohonkan oleh umat lewat perantaraan Bunda Maria.
Bunyi ujud-ujud itu antara lain , Mohon agar laris dalam berdagang. Mohon agar toko yang baru dibuka agar bisa segera mendatangkan pelanggan. Mohon agar rumah cepat terjual. Mohon agar sengketa tanah selesai dengan lebih menguntungkan. Mohon agar segera naik pangkat sebagai PNS dari 4E ke 4D. Mohon agar cepat dapat jodoh. Mohon agar dapat jodoh seiman. Mohon agar lulus masuk perguruan tinggi. Mohon agar kakek cepat sembuh. Mohon agar dapat keturunan. Mohon agar anak tidak nakal.
Begitu banyak permohonan. Bisa ratusan dan bisa ribuan. Bayangkan saja kalau ribuan peziarah mempunyai satu permohonan, maka akan ada ribuan permohonan. Permohonan itu menjadi Litani permohonan seakan tanpa henti. Lantaran kedengarannya begitu aneh dan konyolnya permohonan itu, apalagi untuk dibacakan dalam pearyaan ekaristi yang seharusnya khidmat, sebagian orang merasa kesal dan terkantuk-kantuk dan bahkan memancing tawa para peziarah.
Bagi saya, peristiwa itu seakan-akan mau menunjukkan betapa rapuhnya iman para peziarah jika permohonan-permohonan itu menjadi inti peziarahan mereka. Praktik pembacaan litani ujud permohonan sebenarnya memperlihatkan sejauh mana kedalaman penghayatan hidup beragama, iman dan devosi kita. Hidup iman dan devosi kita masih sangat menyangkut kebutuhan yang cenderung material dan manusiawi semata. Kebutuhan itu memang kita perlukan. Tetapi bila ‘hanya’ kebutuhan itu yang mendorong kita untuk berziarah, maka ziarah kita tanpa sadar telah mendangkalkan nilai dan hakikat hidup iman dan devosi kita.
Dengan berziarah ke gua Maria, hati dan budi kita seharusnya makin disadarkan untuk menghayati magnificat Maria. Ensiklik Redemtoris Mater (37) mengatakan bahwa magnificat, doa pujian Maria itulah yang membentuk dan menjadikan Gereja. Dari awalnya, dalam perjalanannya di dunia, gereja membentuk dirinya berdasarkan magnificat itu. Gereja menerima kebenaran bahwa Allah setia pada janjinya dari Maria ketika ia menerima kabar gembira dan ketika ia mengunjungi Elisabeth, saudarinya,
Litani ujud permohonan memperlihatkan betapa serakahnya kita akan segala kebutuhan kita, dan memaksa Allah untuk memmenuhinya. Padahal magnificat Maria mengajarkan yang sebaliknya : “Miskin di hadapan Allah”. Spiritualitas ‘miskin di hadapan Allah’ berlawanan dengan nafsu mereka yang sombong, kaya dan berkuasa. Maria percaya bahwa mereka yang kaya, berkuasa dan sombong akan diusir dengan tangan hampa, sebaliknya mereka yang miskin dan hina dina akan ditinggikan dan dimuliakan.
Litani permohonan juga memperlihatkan betapa kita resah dan gelisah akan hidup dan kebutuhan kita. Lewat magnificat Maria mengajarkan agar kita tidak usah resah akan semuanya itu. Justru karena kita mau miskin di hadapan Allah dan tidak serakah maka Allah akan melakukan perbuatan besar bagi kita.
Maria, melalui magnificat nya, mengajari kita untuk bersyukur. Dan sesungguhnya inti hidup beriman adalah bersyukur, bukan memohon atau meminta karena merasa khawatir. Betapa pandainnya kita meminta dan memoohon. Namun betapa sulitnya atau betapa kurangnya kita bersyukur. Padahal hanya dengan bersyukur, kita bisa mengalami betapa Allah sungguh tidak pernah menelantarkan kita. Syukur telah mencelikkan mata kita bahwa Allah telah menganugerahkan banyak hal yang kita butuhkan. Dan bila semuanya kita syukuri, akan datang lagi hal-hal lebih besar yang tidak kita bayangkan sebelumnya. Syukur, akan membantu kita untuk melihat hidup dan diri kita dengan lebih positif. Dengan syukur , segala jalan akan terbuka, dan hidup ini terasa penuh kelimpahan, lebih daripada yang kita duga. Syukur inilah yang memungkinkan Maria menerima Tuhan dalam kandungannya, dan kemudian melahirkannya guna pelaksanaan karya besar Allah di dunia ini.
Miskin di hdapan Allah, percaya akan perbuatan besar Allah, dan bersyukur kepada Allah, itulah yang membuat Maria, gadis yang lemah menjadi kuat, optimis dan berani menjalani hidup bersama segala tantangannnya. Begitulah yang terjadi pada Maria. Rahmat yang diterimanya juga kita akan terima, lebih-lebih dalam berdevosi kepada Maria, entah itu ziarah, rosario, novena, asal kita berani menghayati magnificat, doa pujiannnya.
Semoga lewat Magnificat Maria, kita pun menjadi pribadi yang kuat, kokoh, tabah dan percaya diri. Tidak menjadi manusia yang resah akan segala kebutuhgan, tidak merengek-rengek dengan litani permohonan yang justru membuat kita lemah, tidak percaya diri dan kurang bersyukur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar