Jumat, 05 Agustus 2011

Menuju Perayaan Ekaristi Yang Benar

Tahun 2005 dicanangkan sebagai Tahun Ekaristi. Pada hari Kamis Putih 17
April 2003, Paus Johanes Paul II menerbitkan sebuah ensiklik khusus tentang Ekaristi, Ecclesia de Eucharistia [Ensiklik no. 52]. Paus telah memberikan mandat kepada Kongregasi untuk Ibadat dan Disiplin Sakramen-sakramen bekerja sama dengan Kongregasi Ajaran Iman untuk mempersiapkan instruksi yang berisikan disiplin tentang Sakramen Ekaristi. Instruksi itu telah selesai 19 Maret 2004 dan diterbitkan pada tanggal 25 Maret 2004 dengan judul Redemptionis Sacramentum yang berisi 8 bab dan memuat 186 artikel. Instruksi tersebut telah ditandatangani Prefek Kongregasi untuk Ibadat dan Disiplin Sakramen-sakramen, Francis Cardinal Arinze dan juga sekretaris Uskup Agung Domenico Sorrentino. 

Penyimpangan

Instruksi ini mengungkapkan bahwa selama ini, ada banyak penyimpangan dalam pelaksanaan perayaan Ekaristi, yaitu adanya ungkapan-ungkapan dan juga tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan tradisi dan ajaran Gereja Katolik Roma, sehingga ada ketimpangan antara lex orandi dan superficial. Padahal tidak seorangpun, bahkan tidak seorang imam pun boleh mengubah, menambah atau menggantikan liturgi gereja, kecuali Tahta Suci dan Uskup diosesan dalam batas-batas wewenang menurut hukum. Pada tahun 1970, Vatikan telah mengumumkan bahwa segala bentuk coba-coba dan eksperimen yang berhubungan dengan Misa agar dihentikan. Permintaan ini diulangi lagi pada tahun 1988. Namun yang terjadi adalah improvisiasi dan eksperimen masih terus berlangsung di banyak tempat dan oleh banyak imam dan awam. Tahta Suci merasa prihatin akan hal ini dan merasa perlu mengeluarkan instruksi tentang Misa Kudus, agar kesucian dan sifat kesatuan universal ritus Roma tidak dilukai dan menjadi kabur.
Khusus, perkembangan apa yang terjadi pada gereja Katolik di Indonesia masa kini :
*    Kini, banyak umat awam terlibat dalam Misa tidak hanya sebagai lektor, akolit, misdinar, tetapi juga sebagai pembagi komuni [asisten imam]. Ini suatu hal yang baik dan dihargai, namun semuanya itu harus sesuai dengan perannya yang tepat.
*    Mengenai asisten imam, dikatakan bahwa mereka bertugas bukanlah demi partisipasi penuh awam dalam perayaan Ekaristi, tetapi lebih-lebih dari kodratnya, bersifat pelengkap dan sementara, karena terbatasnya jumlah imam [no. 151].
*    Karena hanya imamlah pelayan sesungguhnya dari Sakramen Ekaristi. Nama atau sebutan yang tepat untuk petugas awam ini adalah "pelayan luar biasa Komuni Suci" dan bukan "pelayan khusus Komuni Suci" dan bukan juga "pelayan luar biasa dari Ekaristi" ataupun "pelayan khusus Ekaristi” karena nama-nama dan sebutan-sebutan ini tidak cocok dan terlalu luas fungsinya [no. 156].
*    Dalam menjalankan tugasnya, asisten imam tidak boleh mendelegasikan pelayanannya kepada orang lain [no. 159].
*    Diingatkan, bahwa asisten imam tidak diperbolehkan membawa Hosti Kudus ke rumahnya [no. 132].
*    Asisten imam harus langsung membawa Hosti Kudus kepada orang sakit, tanpa singgah dulu di tempat lain untuk urusan profan tertentu [no. 133].
*    Peralatan Misa untuk Tubuh dan Darah Kristus, haruslah yang terbuat
dari barang berharga. Ketentuan ini memiliki arti bahwa dengan memakai
barang-barang tersebut, kita memberikan kehormatan dan kemuliaan bagi Allah. Maka  janganlah dipakai benda-benda umum/yang berkualitas jelek/benda-benda antik/artistik yang terbuat dari gelas, tanah liat atau materi yang mudah pecah [no. 117].
*    Pakaian imam jika merayakan Misa: Alba, Stola dan Kasula. Imam tidak boleh tidak memakai stola [no. 123].
*    Bertentangan dengan ketentuan dalam buku-buku liturgi, jika imam merayakan Misa atau ritus lainnya hanya dengan Stola di atas pakaian religius [jubah/biara] atau dengan pakaian awam biasa; ritus harus dirayakan dengan pakaian suci/Alba [no.126].
*    Imam dilarang untuk merayakan Misa di kuil/tempat suci agama non Kristen lainnya [no. 109].


Lalu penyimpangan apa saja yang sering terjadi adalah:

Ø   Awam, bahkan seorang bruder/frater/suster tidak boleh membacakan injil  dalam Misa, hanya imam [no. 63].
Ø   Bacaan Kitab Suci tidak boleh dihilangkan atau diganti atas dasar inisiatif sendiri atau diganti dengan bacaan-bacaan non Biblis [no. 62].
Ø  Awam termasuk seminaris, mahasiswa teologi dan petugas pastoral tidak boleh berkotbah dalam Misa Kudus [no. 64, 66].
Ø   Hanya imam yang berkotbah, dan kotbah tersebut harus berdasarkan Kitab Suci dan berujung pangkal pada Kristus, bukan hanya berceritera tentang masalah politik atau hal-hal profan [no. 67].
Ø   Diluar Misa, awam dapat berkotbah, tepatnya homili namun kuasa untuk memberi izinnya, berada di tangan Uskup, bukan imam atau diakon  [no. 161].
Ø   Jika ada awam ingin bersaksi tentang kehidupan Kristianinya, kesaksian tersebut sebaiknya dilakukan di luar Misa. Hanya dengan alasan khusus dan berat, kesaksian iman dapat diizinkan dalam Misa, namun hal itu dilakukan sesudah Doa Penutup [no. 74].
Ø   Kecenderungan awam berperan sebagai klerus (klerikalisasi) harus dihindari.
Ø   Untuk menyambut Hosti Kudus, seseorang harus bersih dari dosa berat. Karena itu, setiap orang yang memiliki dosa berat, harus menerima Sakramen Tobat sebelum dapat menyambut Komuni Kudus. Imam yang berdosa, tidak boleh merayakan Misa sebelum menerima Sakramen Tobat  [no. 81].
Ø   Umat boleh menyambut Hosti Suci dengan berlutut/berdiri, menerimanya dengan lidah/di tangan. Namun bila ada bahaya profanisasi, Hosti tidak diberikan di tangan penyambut. Hosti harus segera dikonsumsi dihadapan imam/asisten imam, tidak boleh dibawa pergi.
      Umat tidak boleh mengambil sendiri Hosti dengan tangannya, juga tidak boleh saling memberikan Hosti Suci satu sama lain, seperti yang terjadi misalnya pada Misa Pernikahan, dimana kedua mempelai saling memberikan Hosti Suci [no. 94], karena hanya imam atau asisten imam yang boleh memberikan Hosti Kudus.
Ø   Umumnya umat menyambut komuni dalam satu rupa, yaitu tidak mungkinlah umat menyambut dalam dua rupa dalam Misa Minggu, yakni Tubuh dan darah Kristus. Umat boleh menyambut dalam dua rupa yaitu Tubuh dan Darah Kristus, namun penyambutan Darah Kristus hanya dapat diberikan dalam keadaan tertentu dimana tidak ada resiko profanisasi/umat tidak terlalu banyak/tidak akan ada banyak sisa sesudah semua menyambut. Melihat syarat ini, tidak mungkinlah umat menyambutnya dalam bentuk dua rupa dalam misa hari Minggu.
Ø   Jika Darah Kristus akan disambut, umat menyambutnya dengan meminumnya  langsung dari piala atau dengan mencelupkan/menggunakan sendok/pipet. Di Indonesia yang paling sering terlihat jika umat menyambut dalam dua rupa, maka umat mencelupkan Hosti ke dalam piala. Akan tetapi Roma menyatakan bahwa umat tidak boleh mencelupkan Hosti ke dalam piala  [no. 104].
Ø   Umat menerima Hosti yang tercelup langsung dari imam dan diterima di mulut, bukan di tangan [no. 103].
Ø   Salam Damai dilakukan sesaat sebelum komuni, bukan pada waktu sebelum persembahan. Salam damai hanya dilakukan terhadap orang yang berdekatan, tidak boleh berjalan ke mana-mana dan membuat gaduh, sehingga mengganggu kesakralan Misa. Imam memberikan salam damai kepada para petugas Misa, namun tetap berada di panti imam dan hanya dengan alasan tertentu, imam dapat memperluasnya pada beberapa umat. Salam damai ini hanya menandakan perdamaian, kesatuan dan cinta kasih sebelum menerima Hosti dan bukan/tidak merupakan suatu tindakan rekonsiliasi/penghapusan dosa [no. 71, 72].
Ø   Doa Syukur Agung (DSA) adalah doa presedensial, sehingga doa ini hanya boleh diucapkan imam, tidak boleh diucapkan diakon, asisten imam/umat, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama [no. 52].
Ø   Imam tidak boleh menggubah sendiri/mengubah DSA menurut seleranya sendiri  [no. 51].
Ø   Imam tidak boleh memecahkan Hosti pada waktu konsekrasi [no. 55].
Ø   Tindakan ini hanya boleh dilakukan pada saat pengucapan Anak Domba
Allah, yang menandakan bahwa walaupun umat Allah terdiri dari banyak orang, sesungguhnya adalah satu kesatuan karena berasal dari satu Tubuh yaitu Kristus [no. 73].
Ø   Nama paus dan uskup setempat harus diucapkan dalam DSA, karena hal ini berasal dari tradisi yang sudah sangat kuno dan merupakan manifestasi dari kesatuan seluruh gereja [no. 56].
Ø   Instruksi Redemptionis Sacramentum ini ditujukan tidak hanya kepada para uskup, imam dan diakon, tetapi juga kepada seluruh umat beriman [no. 2].
Ø   Karena itu, setiap orang Katolik, apakah imam, diakon atau awam, yang mungkin pernah menjumpai hal-hal yang janggal yang tidak sesuai dengan instruksi yang dikeluarkan dalam ensiklik tersebut sangat mungkin membicarakan, mendiskusikan, dan memperdalam sebagai sebuah studi lebih lanjut. Namun, semuanya itu harus dilakukan atas dasar itikad baik yang dipenuhi rasa kebenaran dan cinta kasih [no. 184].

.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar