Jumat, 11 November 2011

CATATAN HARIAN PASUTRI



Tidak selamanya kapal itu berlayar di samudera tenang dan teduh. Ada kalanya pesawat itu harus melewati awan yang menggumpal, dan sering terjadi kenderaan itu harus melalui jalan terjal dan berliku, serta jatuh dan terantuk adalah bagian dari pengalaman saat kita berjalan. Juga tidak selamanya bahtera keluarga itu berlayar tenang, adem, dan indah. Ada kalanya badai hidup dan topan dahsyat menghempas nya. Namun ingatlah “keyakinan” yang mengatakan bahwa kita kadang butuh tantangan sehingga kita menjadi kuat, teguh, ulet dan tangguh. Bukankah pohon itu semakin kuat karena silih ganti dihempas angin?

Catatan harian ini mewakili harapan dari PASUTRI yang mempunyai sejuta impian menjadi keluarga indah dan bahagia. Namun untuk menggapainya butuh tetesan keringat yang tidak sedikit, butuh pengorbanan dan bahkan suami-isteri harus “membayar” mahal. Benar, tangisan, kesedihan dan penderitaan kadang menghiasinya. Karena itu janganlah sesali kalau senyuman itu pernah hambar, tatapan itu kadang-kadang kosong dan sapaan itu sepintas berlalu saja. Itu adalah riak-riak yang mencatat indahnya sebuah perjuangan.

Ingatlah PASUTRI, bahwa perkawinan bukanlah sebuah proyek hidup yang sekali dan lalu selesai. Tanamkanlah bahwa bukan otomatis kebahagiaan dan kesuksesan hidup berkeluarga menjadi milikmu, walau Allah berjanji menyediakan kebahagiaan bagi semua orang. Pernikahan itu justru langkah awal untuk memulai hidup yang baru, di mana kamu resmi menjadi keluarga dan tinggal di atap yang sama. Karena itu kamu dipanggil menatanya, memeliharanya dan melestarikannya. Ini salah satu panggilan luhur umat kristiani, menyalurkan kasih Allah lewat pernikahan.

Saat kamu resmi menjadi PASUTRI, bukan berarti perbedaan itu terhapus, bukan juga otomatis sifat itu terkikis dan pembawaan asli itu hilang. Pernikahan juga bukan suatu “PARADE SIRKUS’” atau “MIE INSTAN” dalam sekejap berobah dan siap saji. Itu adalah sebuah proses yang membutuhkan waktu, kerjasama dan kesabaran.

Namun perbedaan dan sikap yang tidak sama, tidak menghalangi PASUTRI untuk menciptakan keluarga yang harmoni. Bukankah makanan yang enak itu diresapi oleh bumbu yang berbeda? Bukankah bunga yang dipot itu sangat indah karena terdiri dari beberapa warna? Bukankah lukisan indah itu merupakan kombinasi warna yang bervariasi? Bukan Gereja itu dihuni oleh insan yang tidak sama? Duduk semeja waktu makan, genggaman erat kasih dan cinta di ruang televisi, cipika atau cipiki (cium pipi kanan atau cium pipi kiri, mmmmm mesra ni ni yee,,,) saat mau kerja dan saat pulang ke rumah, bukanlah hal yang mahal namun itu bisa menciptakan kesatuan dalam rasa dan perasaan.

Maka satu hal yang perlu ditanamkan ialah kata KITA dan bukan SAYA, KAMU apalagi KAU. Kata KITA MENGANDUNG makna dalam, kita berjalan bersama, problem itu adalah masalah bersama dan bukan masalahku dan masalahmu karena itu kita atasi bersama. Jangan posisikan dirimu di luar masalah itu, atau hanya menjadi penonton. Yesus mengatakan, “Karena itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, maka keduanya menjadi satu. Jadi mereka bukan lagi dua, melainkan satu.” Kata kita bermaksud mempersatukan sementara, kamu apalagi kau memisahkan”.

Hindarilah “pembawaan” yang kurang bijak dari suami. Ketika anakmu cantik, bersih, harum karena baru mandi, kamu mengatakan, “Wah anak kita benar-benar cantik atau tampan, sambil kamu gendong dia.” Saat anak itu kotor, belum mandi dan bahkan ingusan, dengan keras suami mengatakan, “Nah, anakmu ini dan kamu tidak tidak mau menggendong.” Contoh sederhana namun memberi suatu penegasan yang bisa menyakitkan, bukan hanya untuk sang isteri tetapi juga si anak.

Karena itu, indah kalau suami bergumam, “Dalam kelemahanku, isteriku menjadi “solusi” terbaik sehingga aku kuat. Dan isteri mengatakan, “Dalam keletihan dan kesedihanku, suamiku menjadi pelepas dahaga, dan pelipur lara. Jadikanlah sapaan terakhir ini menjadi hiasan hidupmu sebagai PASUTRI, “Allah sumber cinta, Aku meyakini bahwa isteriku ini adalah hadiah terindah darimu yang kuterima dari kemuarahanMu. Allah yang pemersatu, saya bersyukur karena suamiku ini merupakan harta tak terkira yang sangat berharga dan membuat perbedaan dalam hidupku. Semoga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar