Jumat, 11 November 2011

EKARISTI DAN KEKUDUSAN ALLAH : Relasi Sakramen Tobat dan Ekaristi



“Ya Tuhan Yesus Kristus, semoga Tubuh dan Darah-Mu, yang akan kusambut, melindungi dan menyehatkan jiwa ragaku, dan jangan sampai membawa kematian”.

Penggalan kalimat diatas adalah doa yang diucapkan imam dalam Perayaan Ekaristi sebelum komuni imam, yaitu permohonan agar Tubuh dan Darah Kristus yang akan disambut membawa keselamatan dan bukannya penghukuman atau kematian. Artinya ada dua kemungkinan yang bisa terjadi saat kita bertemu dengan Sakramen Ekaristi : menghasilkan kesejahteraan atau mendatangkan kematian. Bagaimana ini bisa terjadi ? Bagaimana kita memahami bahwa Tubuh Kristus bisa mendatangkan malapetaka, padahal dikatakan bahwa“Dalam perjamuan itu (=Ekaristi) Kristus disambut, jiwa dipenuhi rahmat, dan kita dikurniai jaminan kemuliaan yang akan datang” (SC 47)?
Dalam Kitab Suci kita menemukan gambaran senada dengan pernyataan di atas. Ada dua contoh yang bisa kita perhatikan.   
Pertama, Paulus pernah menulis tentang apa yang terjadi dalam jemaat berkaitan dengan Ekaristi. Paulus menegaskan bahwa “barangsiapa dengan cara yang tidak layak makan roti atau minum cawan Tuhan, ia berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan(1Kor 11:27). Pesan Paulus jelas: Orang harus makan roti dan minum cawan Tuhan secara layak,kalau tidak layak maka ia berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan.Contoh kedua kita ambil dari PL dalam 2Sam 6:1-7. Ketika Daud bermaksud mengangkut Tabut Perjanjian ke Yerusalem. Tabut dibawa dari rumah Abinadab dengan kereta dan dikawal oleh dua anak Abinadab : Uza dan Ahyo. Ketika sampai di suatu tempat lembu yang menarik kereta itu tergelincir dan untuk menyelamatkan Tabut agar tidak terjatuh, Uza mengulurkan tangannya dan memegang Tabut tersebut. Yang terjadi kemudian adalah “bangkitlah murka Tuhan terhadap Uza, lalu Allah membunuh dia di sana karena ketelodorannya itu, ia mati di sana dekat Tabut Tuhan itu”(ay 7). Kisah ini tampaknya mau menunjukkan bahwa ketika orang tidak berwenang menyentuh sesuatu yang dianggap kudus, resikonya adalah kematian.
         Contoh di atas mau mengatakan bahwa pertemuan antara manusia dengan Yang Kudus ternyata bisa mengakibatkan kebinasaan. Kalau Ekaristi disebut Sakramen Mahakudus (dan memang demikianlah karena Ekaristi adalah Tuhan sendiri), maka pertemuan antara Tubuh Tuhan Yang Kudus dengan manusia – Yang Tidak-Kudus- juga bisa membawa konsekuensi serupa, kematian.

Paham Kekudusan dalam Perjanjian Lama (PL)

            Kalau kita membuka PL, misalnya kitab Imamat kita akan menemukan bahwa kehadiran YHWH ditengah-tengah umat membawa konsekuensi, bahwa lingkungan sekitar-Nya, termasuk umat yang hidup di sana, harus juga kudus adanya. Secara praktis kitab Imamat menyampaikan hal-hal yang harus dilakukan atau dihindarkan agar kekudusan umat tetap bisa terjaga (Im 19:2; bdk 11:44.45;19:12).Ketika kekudusan itu dilanggar, yang terjadi adalah malapetaka, seperti kisah Uza tadi (bdk. Juga 2Taw 26:17-19). Kekudusan Allah mau tidak mau menuntut juga kekudusan umatnya.
         Lantas dengan cara bagaimana umat harus menjaga kekudusan sehingga tetap bisa hidup di hadapan Tuhan ? Bagi Tradisi Para Imam, usaha untuk memelihara kekudusan dicapai dengan menjaga ketahiran ritual, dengan persembahan kurban dan hewan sembelihan, mengikuti upacara-upacara yang ditentukan, dsb. Menurut Tradisi Kenabian,kekudusan umat Allah dicapai dengan memelihara keadilan sosial di tengah masyarakat serta menjaga prinsip kesetaraan dalam hubungan antar manusia. Dan Tradisi Bijak Bestari yakin bahwa kekudusan bisa dicapai melalui moral pribadi.
            Mungkin baik jika kita pahami dulu arti kata “kudus”. Kata kudus masuk ke dalam kosa kata bahasa Indonesia  melalui bahasa Arab (quds), yang berarti memisahkan, to set apart. Yang Kudus berarti yang terpisahkan dari yang lain; menguduskan berarti memisahkan diri dari yang lain. Keterpisahan ini mau tidak mau juga menyangkut batas-batas; batas antara Yang Kudus dan Yang Tidak-Kudus. Kata Kudus hanya dikenakan pada Allah.
Beberapa gambaran Kitab Suci mungkin bisa membantu. Kemah suci yang dibangun di padang gurun hanya boleh dimasuki oleh para imam, yaitu Harun dengan keturunannan dengan mengenakan pakaian khusus (Kel 28:43). Untuk mempersembahkan kurban para imam harus membasuh tangan terlebih dahulu (Kel 30:17-21). Tempat kudus dalam Kemah hanya boleh dimasuki oleh Harun seorang diri (Im 16).
Oleh karena itu sepanjang PL ditemukan ketakutan untuk melihat Tuhan, karena jika seorang yang tidak tahir memandang Allah, dia harus mati. Jika seseorang yang najis makan makanan yang kudus, maka nyawanya harus dilenyapkan (Im 17:20). Ketika batas-batas dilanggar, baik sengaja maupun tidak sengaja, keseimbangan kosmis bisa terganggu dan kekuatan jahat dapat merugikan manusia. Untuk memulihkan harmoni dibutuhkan tindakan tertentu, misalnya kurban dengan segala pernik-perniknya.

Ekaristi dan Kekudusan Allah
     Ekaristi adalah Tuhan sendiri yang hadir di tengah-tengah kita dalam rupa roti dan anggur. Kita menyebutnya Sakramen Mahakudus. KHK 897 merumuskan:”Sakramen yang terluhur adalah Ekaristi mahakudus, di dalamnya Kristus Tuhan sendiri dihadirkan, dikurbankan dan disantap”. Semua mengakui bahwa Ekaristi adalah kudus dan oleh karena itu perlu kondisi tertentu untuk bisa menerima Yang Kudus itu secara pantas. Kehadiran Yesus  dalam Ekarsiti menuntut disposisi batin tertentu. Orang tidak bisa seenaknya menerima Tubuh Tuhan.
KHK 916: “Yang sadar berdosa berat, tanpa terlebih dahulu menerima sakramen pengakuan, jangan merayakan Misa atau menerima Tubuh Tuhan, kecuali ada alasan berat serta tiada kesempatan mengaku; dalam hal demikian hendaknya ia ingat bahwa ia wajib membuat tobat sempurna, yang mengandung niat untuk mengaku sesegera mungkin.”
Ajakan untuk berpuasa sebelum menerima Ekaristi juga merupakan suatu usaha untuk memberikan penghormatan yang pantas terhadap Tubuh Tuhan.  Ketika batas-batas kekudusan Ekaristi dilanggar, maka bisa timbul kekuatan yang bisa membahayakan.

Pertobatan: Jembatan kepada Yang Kudus

            Jika Yang Kudus tidak bisa bersentuhan dengan yang tidak-Kudus padahal yang Kudus sangat bermanfaat bagi yang Tidak-Kudus, lalu bagaimana caranya sehingga pertemuan keduanya menghasilkan manfaat spiritual yang melimpah? Jelas dibutuhkan jembatan sehingga Yang Tidak-Kudus mencapai Yang Kudus dengan selamat. Jembatan itu tidak lain Sakramen Tobat.
            Menurut iman Katolik, melalui Sakramen Tobat yang bisa diterima berulang kali, hidup kita dibersihkan kembali dari segala dosa. “Sekalipun dosamu merah seperti kirmizi, akan menjadi putih seperti salju; sekalipun berwarna merah seperti kain kesumba, akan menjadi putih seperti bulu domba”(Yes 1:18). Justru melalui Sakramen Tobat kita dikuduskan, maka kita bisa bertemu dengan Yang Kudus. Oleh karena itu ,Gereja amat menganjurkan agar umat beriman terlebih dahulu merayakan Sakramen Tobat sebelum menyambut Ekaristi (KHK Kan. 915)
Akhirnya, ketika kita mempromosikan Ekaristi ada baiknya dibarengi juga mempromosikan Sakramen Tobat, yang sangat tidak populer. Sakramen Tobat merupakan jembatan penghubung antara Allah Yang Mahakudus dengan manusia.
Selamat merayakan HR Tubuh dan Darah Kristus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar